Rabu, 24 Maret 2010

PATHAVIKATHAPASUTAPANCASATABHIKKHUNAM VATHHU.

IV. PUPPHA VAGGA

1. PATHAVIKATHAPASUTAPANCASATABHIKKHUNAM VATHHU.

“Siapakah yang aka n menaklukkan dunia ini ...?” Uraian dhamma ini disampaikan Guru ketika Beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan 500 bhikkhu yang menghabiskan waktu mereka membicarakan tentang tanah.

Tersebutlah, pada suatu petang ketika para bhikkhu ini kembali ke Jetavana setelah berpergian (ke berbagai tempat) di dalam negeri bersama Guru, mereka berkumpul di gedung pertemuan (upatthanasala) membicarakan berbagai macam tanah yang mereka lihat sewaktu berjalan dari satu desa ke desa yang lain, seperti adsa tanag yang rata dan tidak rata, tanah yang diliputi banyak lumpur, tanah yang diliputi kerikil, tanah liat hitam dn tanah liat merah. Guru menemui mereka lalu bertanya: “Para bhikkhu, apa yang anda sekalian percakapkan dengan duduk di sini?” Mereka menjawab: “Bhante, kami membicarakan bermacam-macam tanah yang kami lihat di berbagai tempat yang kami kunjungi.” Guru berkata: “Para bhikkhu, ini adalah tanah bagian luar. Lebih baik anda sekalian membersihkan tanah di batin mu seklian.” Setelah berkata demikian, Beliau mengucapkan dua syair berikut:

40. “Siapakah yang akan menaklukkan dunia ini, alam Yama dan alam para dewa?

Siapakah yang akan menyerna dhamma yang telah dibabarkan dengan baik,

seperti yang dilakukan oleh perangkai bunga yang ahli?”

41. “Seorang Sekha (siswa yang masih berlatih) akan menaklukkan dunia ini, alam Yama dan alam para Dewa.

Sekha ini akan menyerna dhamma yang telah dibabarkan dengan baik, seperti yang dilakukan oleh perangkai bunga yang ahli.”

2. MARICIKAMMATTHANIKATTHERA VATTHU

“Ia yang mengetahui bahwa tubuh ini bagaikan busa ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan seorang bhikkhu yang bermeditasi pada bayangan (maricikammatthana).

Tersebutlah bahwa seorang bhikkhu mendapat pokok meditasi dari Guru, lalu measuk dalam hutan untuk melaksanakan meditasi. Namun walaupun telah berusaha dan berjuang sungguh-sungguh, ia tidak berhasil mencapai kearahatan, lalu ia berpikir: “Saya akan memohon guru untuk memberikan pokok meditasi yang sesuai dengan kebutuhanku.” Dengan ide ini dipikirannya ia keluar dari hutan kembali kepada Guru.

Dalam perjalanan ia melihat sebuah bayangan (mirage). Ia berpikir: “Seperti bayangan ini pada musim panas nampak nyata bagi mereka yang berada din tempat jauh, tetapi hilang bila didekati, demikian pula dengan kehidupan ini tidak nyata bila memperhatikan kelahiran dan kelapukan (proses penuaan).” Ia memusatkan pikirannya pada bayangan, ia melatih dirinya bermeditasi pada bayangan. Sekembalinya, kecapaian karena perjalanan, ia mandi di sungai Aciravati dan duduk di bawah naungan sebuah pohon di tepi sungai dekat sebuah air terjun. Selagi ia duduk memperhatikan gelembung-gelembung besar dari busa yang muncul dan pecah, karena kekuatan air menerpa bebatuan, ia berpikir: “Begitu pula kehidupan ini muncul dan begitu pula kehidupan hancur.” Hal ini dijadikannya sebagai obyek meditasinya.

Sementara itu, Guru yang sedang duduk dalam Gandhakuti (dengan kekuatan batinnya) melihat Thera dan berkata: ”Bhikkhu, itu memang begitu. Kehidupan ini seperti gelembung busa atau sebuah bayangan. Tepat sekali, begitulah kehidupan muncul dan begitu pula kehidupan lenyap.” Setelah Belioau berkata seperti itu, Beliau mengucapkan syair berikut:

42. ”Ia yang mengetahui bahwa tubuh ini bagaikan busa, ia yang dengan jelas

mengerti bahwa begitulah sifat alamiah dari bayangan, maka orang seperti ini akan mematahkan ujung panah Mara dan Raja Kematian tidak dapai menemuinya.”

Pada akhir dari syair Thera mencapai kearahatan dan memiliki patisambhida (kemampuan batin), lalu ia menghormat ke arah tubuh Guru yang keemasan dan gemilang.

2. VIDUDABHA VATTHU

“Walaupun seseorang mengumpul bunga-bungaan ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika Beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan Vidudabha bersama pasukannya, yang diterjang dan terseret banjir besar hingga semuanya meninggal.

Di Savatthi hidup Pangeran Pasenadi, putra raja Kosala; di Vesali hidup Pangeran Mahali, keturunan Licchavi; di Kusinara ada Pangeran Bandula, putra raja Malla. Tiga pangeran ini belajar pada seorang guru terkenal di Takkasila. Ketika bertemu di sebuah rumah peristirahatan di luar kota, mereka saling bertanya tentang tujuan kedatangan, keluarga serta nama, dan menjadi teman. Mereka belajar pada guru yang sama pada waktu yang bersamaan, dan tak lama kemudian mereka telah menguasai berbagai macam ilmu, mereka mohon diri dari guru, berangkat bersama pulang ke masing-masing kerajaan.

Pangeran Pasenadi sangat mengembirakan ayahnya dengan mempertunjukkan berbagai macam keahlian yang dimilikinya sehingga ayahnya menotbatkannya menjadi raja.

Pangeran Mahali membaktikan dirinya pada tugas mendidik para pangeran Licchavi, namun karena terlalu bekerja keras, ia menjadi buta. Karena itu, para pangeran Licchavi berkata: “Sial! Guru kita telah buta. Kita tidak akan mengusirnya, namun kita harus membantunya dengan baik.” Selanjutnya mereka memberikan sebuah gerbang (pembsayaran pajak) seharga 100.000 kahapana. Ia tinggal di dekat gerbang ini, dan mengajar berbagai ilmu kepada 500 pangeran Licchavi.

Sedangkan bagi Pangeran Bandhula, para pangeran Malla mengikat batangan-batangan bambu dalam ikatan-ikatan yang masing-masing terdiri

dari 60 batang, dan menyelipkan sebatang besi tipis ke dalam setiap ikatan bambu, mengangkat ikatan-ikatan batangan nya ke atas, dan menantang Bandula untuk memotongnya. Bandula meloncat ke udara setinggi 80 hasta dan menebas ikatan-ikatan itu dengan pedangnya. Karena mendengar suara bunyi besi pada ikatan terakhir, ia bertanya: “Apa itu?” Ketika ia diberitahukan bahwa sebatang besi tipis diselipkan dalam setiap ikatan, ia melempar pedangnya dan menangis dengan berkata: “Mereka semua adalah kerabatku dan temanku, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang mau memberitahukan hal ini. Sebab, bilamana saya mengetahuinya, saya akan menebas ikatan-ikatan itu tanpa menyebabkan bunyi besi.” Lalu ia berkata kepada ayah dan ibunya: “Saya akan membunuh semua pangeran ini dan menguasai kerajaan.” Mereka menjawab: “”Nak, tahta diwariskan dari ayah ke putranya, maka dengan demikian tidak mungkin bagimu melakukan hal ini.” Dengan berbagai macam cara mereka membujuknya untuk tidak melaksanakan apa yang ia rencanakan, akhirnya ia berkata: “Baiklah, saya akan pergi dan tinggal dengan sahabatku,” dan ia berangkat ke Savatthi.

Raja Pasenadi mendapat informasi bahwa Bandula datang, maka ia segera pergi

mengangkatnya menjadi panglima tertinggi tentaranya. Bandula mengajak ayah dan ibunya untuk tinggal di kota Savatthi.

Pada suatu hari, sementara raja berdiri diteras dan melihat ke jalan di bawah, ia melihat beberapa ribu bhikkhu yang melalui jalan dalam perjalanan mereka untuk makan pagi di rumah Anathapindika, Culla Anathapindika, Visakha dan Suppavasa. “Ke mana para bhikkhu itu pergi,” tanya raja. “Maha Raja, setiap hari 2000 bhikkhu pergi ke rumah Anathapindika untuk mendapat makanan, obat-obatan dlll.; 500 bhikkhu ke rumah Culla Anathapindika; jumlah yang sama juga pergi ke rumah Visakha dan Suppavasa.” Raja pun berkeinginan untuk melayani sangha bhikkhu, maka ia pergi ke vihara, lalu mengundang Guru dan ribuan siswanya untuk makan di istananya. Selama tujuh hari ia memberikan dana kepada Guru, pada hari ke tujuh ia memberikan hormat dan berkata: Sejak hari ini Bhante dengan 500 bhikkhu secara tetap datang makan di istanaku.” “Maha Raja, para Buddha tidak pernah menerima makanan secara tetap di satu tempat; manyak orang menginginkan kedatang para Buddha.” “Baiklah, kirim seorang bhikkhu secara tetap.” Guru menunjuk Bhikkhu Ananda melaksanakan tugas ini.

Ketika sangha bhikkhu bhikkhu, raja mengambil patta mereka dan selama tujuh hari secara pribadi ia melayani mereka, tanpa mengizinkan orang lain membentunya. Pada hari ke delapan raja menderita pusing dan lalai melaksanakan tugasnya. Para bhikkhu saling berkata: “Di istana raja tidak ada seorang pun yang meyediakan tampat duduk bagi para bhikkhu dan melayani mereka tanpa ia diperintahkan untuk melakukannya. Dengan demikian tidak mungkin bagi kita untuk tetap berada di sini lebih lama lagi.” Selanjutnya mereka pergi. Pada hari berikutnya juga raja melalaikan tugasnya, maka banyak bhikkhu yang pergi. Demikian pula pada hari ke tiga raja melalaikan tugasnya, akibatnya semua bhikkhu yang tersisa kecuali Bhikkhu Ananda yang tetap tinggal.

Mereka yang sungguh-sungguh mengikuti kebenaran muncul melampaui di lingkungannya dan menjaga kepercayaan umat berkeluarga. Tathagata memiliki dua orang siswa utama, yaitu: Sariputta Thera dan Moggallana Thera; dua siswi utama, yaitu Khema dan Uppalavanna. Diantara umat awam ada dua upasaka utama, yaitu: Citta dan Hatthaka Alavaka; sedangkan dua upasika utama adalah Velukanthaki Nandamata dan Kujjutara. Singkatnya, semua siswa mulai dari 8 orang ini, telah melakukan Tekad Kuat untuk memenuhi Sepuluh Paramita, dan telah memiliki banyak pahala. Demikian pula denganm Ananda Thera, ia telah membuat Tekad Kuat, telah memenuhi 10 Paramita selama 100.000 kappa, dengan demikian telah memiliki maha pahala.(mahapunna). Begitulah Ananda Thera yang muncul melampaui lingkungannya, tetap tinggal uantuk menjaga kepercayaan orang-orang istana. Sehingga mereka menyiapkan tenpat duduk untuk bhikkhu Ananda dan melayani beliau.

Ketika para bhikkhu telah berlalu, raja tiba dan memperhatikan bahwa makanan yang keras dan lunak belum tersentuh, ia bertanya: “Apakah para bhikkhu yang mulia tidak datang?” “Hanya Ananda Thera seorang yang datang, Raja.” “Lihat, berapa kerugian yang mereka sebabkan,” kata raja. Karena mara kepada para bhikkhu, ia pergi menemui Guru dan berkata: “Bhante, saya menyediakan makanan untu 500 bhikkhu, namun nampaknya hanya Ananda Thera seorang yang datang. Makanan yang telah disediakan di sana tidak tersentuh, dan para bhikkhu tidak menunjukkan tanda-tanda akan datang ek istanaku. Mohon, apakah alasannya?” Guru, tidak mempersalahkan para

bhikkhu, menjawab: “Maha Raja, para siswaku kurang percaya kepada anda; tentu alasan ini yang menyebabkan hal itu terjadi.” Beliau mensehati para bhikkhu dan meletakkan persyaratan bagi para bhikkhu untuk tidak harus mengunjungi para umat, dan persyaratan bagi para bhikkhu untuk mengunjungi para umat, beliau membabarkan Sutta (Anguttara N. iv. 387 – 388):

“Para bhikkhu, ada 9 syarat bagi para umat yang tidak pantas dikunjungi olah para bhikkhu. Dengan demikian, bilamana para bhikkhu tidak mengunjungi umat, maka mereka tidak diharuskan mengunjungi umat itu; namun jika mereka sedang mengunjunginya, mereka tidak ada pantas untuk duduk. Apakah 9 syarat itu? Mereka tidak menyambut para bhikkhu dengan cara yang sopan; mereka tidak menghormat dengan cara yang sopan; mereka tidak mempersilahkan duduk dengan cara yang sopan; mereka menyembunyikan milik (harta) mereka; memiliki banyak, tetapi memberi sedikit; memiliki makanan yang baik, namun memberikan makanan yang kurang baik; mereka memberikan dana dengan cara yang tidak sopan; mereka tidak duduk untuk mendengar dhamma; mereka tidak berbicara dengan sopan. Para bhikkhu, inilah 9 syarat yang dimiliki oleh umat yang tidak pantas dikunjungi oleh para bhikkhu. Itulah sebabnya, bilamana para bhikkhu tidak mengunjungi umat itu, maka mereka tidak pantas untuk mengunjungi umat itu; namun jika mereka sedang mengunjunginya, mereka tidak ada pantas untuk duduk.

Para bhikkhu, sebaliknya ada 9 syarat para umat yang pantas dikunjungi oleh para bhikkhu. Maka bilamana para bhikkhu belum mengunjungi umat itu, mereka pantas untuk mengunjunginya; dan jika mereka mengunjunginya, mereka pantas untuk duduk. Apakah 9 syarat itu? Mereka menyambut para bhikkhu dengan cara yang sopan; mereka menghormat dengan cara yang sopan; mereka mempersilahkan duduk dengan cara yang sopan; mereka memperlihatkan milik mereka; memiliki banyak dan memberi banyak; memiliki makanan yang baik dan memberikan makan yang baik; memberikan dana dengan cara yang sopan; mereka duduk mendengar dhamma; mereka berbicara dengan sopan. Para bhikkhu, inilah 9 syarat yang dimiliki umat yang pantas dikunjungi oleh para bhikkhu. Itulah sebabnya, bilamana para bhikkhu belum mengunjungi umat itu, maka mereka pantas mengunjungi umat itu, jika mereka mengunjunginya, mereka pantas untuk duduk.

“Maharaja, berdasarkan hal inilah para siswaku kurang kepercayaan kepada anda; pasti karena hal inilah mereka tidak datang. Demikian pula yang dilakukan oleh para bijaksana pada masa lampau yang tidnggal di sebuah tempat yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka; dan walaupun mereka dilayani dengan sopan, mereka merasakan penderita kematian, sehingga mereka pergi ke tempat di mana sesuai dengan kepercayaan mereka.” “kapan itu terjadi,” tanya Raja. Untuk itu Guru menceritakan hal berikut ini.

Cerita yang lampau.

Kesava, Kappa, Narada, dan Raja Baranasi

Pada masa yang lalu, ketika Raja Brahmadatta berkuasa di baranasi, seorang raja bernama Kesava meletakkan tahtanya, meninggalkan kehidupan dunikawi menjadi petapa; 500 pembantunya mengikuti jejaknya menjadi petapa. Sejak itu mantan raja dikenal sebagai petapa Kesava. Begitu pula, Kappa, penjaga permata kerajaan menjadi petapa sebagi murid Kesava. Petapa Kesava bersama para pengikutnya tinggal di pedalaman Himalaya selama 8 bulan. Pada masa musim hujan ia datang ke Baranasi untuk mendapat garam, cuka dan makan. Raja sangat gembira menemuinya, raja mendapat janji dari petapa akan tinggal bersamanya selama 4 bulan musim hujan, raja menyiapkan tempat tinggal di taman, dan menemuinya setiap pagi dan malam. Para petapa yang lain, setelah tinggal di situ selama beberapa hari merasa terganggu oleh sura-suara gajah dan binatang lainnya sehingga mereka merasa tidak puas, lalu mereka pergi menemui Kesava dan berkata: “Guru, kami tidak bahagia, maka kami akan pergi.” “Ke mana kamu sekalian akan pergi, saudara-saudara?” “Ke pedalaman Himalaya, Guru.” “Pada khari kita tiba di sini, raja mendapat janji kita untuk tinggal selama 4 bulan musim hujan. Bagaimana dapat kita pergi, saudara-saudara?” “Guru tidak menjelaskan kepada kami tentang janji yang guru katakan kepada raja; kami tidak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Kami akan tinggal tidak jauh dari sini, agar kami dapat berita dari Guru.” Demikianlah mereka memberikan hormat kepadanya dan berangkat, akhirnya hanya Guru dan muridnya Kappa yang tertinggal.

Ketika raja datang menemui mereka, ia bertanya: “Ke manakan para

petapa mulia pergi?” “Mereka mengatakan bahwa mereka tidak puas dan tidak bahagia, maka mereka pergi ke pedalaman Himalaya, Maha raja.” Tidak lama kemudian Kappa pun menjadi tidak puas. Walaupun Guru membujuknya berkali-kali agar tidak meninggalkannya, namun ia bersikeras bahwa ia tidak tahan lagi. Maka ia pergi mengikuti yang lain dan tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh, agar ia (dengan mudah) dapat berita tentang Guru.

Guru sering memikirkan para muridnya, dan setelah beberapa waktu kemudian ia mulai menderita sakit dalam. Raja memerintahkan dokter untuk mengobatinya, namun kesehatannya tidak ada perbaikan. Akhirnya petapa berkata kepada raja: “Maha raja, apakah anda ingin saya sembuh?” “Bhante, jika mungkin, saya akan menyembuhkanmu pada saat ini juga.” “Maha raja, jika raja ingin saya sembuh, maka antas saya menemui para muridku.” “Baiklah, petapa,” jawab raja. Maka raja menidurkan petapa pada sebuah usungan dan memerintahkan 4 menterinya yang dipimpi oleh Narada membawa petapa kepada para muridnya, dengan berkata: “Perhatikan bagaimana kesehatan petapa dan kabarkan padaku.”

Petapa Kappa mendapat berita bahwa Guru datang, maka ia p[ergi menemuinya. “Ke mana yang lain?” tanya petapa Kesava, “Mereka tinggal di tempat anu dan itu,” jawab Kappa. Ketika para petapa yang lain mendengar bahwa Guru mereka telah tiba, mereka berkumpul, menyediakan air hangat untuk guru dan memberikan kepadanya berbagai macam buah-buahan. Pada saat itu juga petapa sembuh dari sakitnya; dan dalam beberapa hari saja penempilan tubuhnya yang keemasan nampak. Narada bertanya kepada petapa:

“Setelah makan nasi dari padi gunung yang murni, dimasak dengan kaldu daging, bagaimana mungkin anda menyukai nasi dari pepadian kasar dan tanpa garam?”

“Apakah makanan itu enak atau tidak, sedikit atau banyak, namun bilamana seseorang makan itu dengan penuh kepercayaan, maka kepercayaan itu yang sangat menyenangkan.”

Ketika Guru seleasai menguraikan ajarannya, beliau mengidentifikasikan pemeran-pemeran yang ada dalam Jataja tersebut sebagai berikut: “Apada masa

itu raja adalah Moggallana, sedangkan Narada adalah Sariputta, petapa Kesava adalah saya sendiri, Kappa adalah Ananda. Jadi Maha raja, di masa yang mapau pun para bijaksana mengalami penderitaan kematian dan pergi ke tempat yang sesuai dengan kepercaan mereka. Para muridku kurang kepercayaannya kepada anda, Saya tak ragu untuk hal ini.”

Demikianlah cerita yang lampau.

Raja berpikir: “Saya harus memenangkan kepercayaan dari bhikkhu sangha. Apa yang paling terbaik saya lakukan? Cara terbaik bagiku adalah mengawni serang kerabat dari Samma Sambuddha. Dengan cara ini para samanera, bhikkhu baru akan tetap datang ke istanaku dengan berpikir: ‘Raja adalah kerabat Samma Sambuddha.’” Selanjutnya ia mengirim berita kepada para Sakiya, sengan kata-kata: “Berikan seorang anak gadis anda.” Serta memerintahkan para dutanya untuk mengetahui nama orang tua gadis itu dan melapor kepadanya. Para duta berangkat dan meminta seorang gadis Sakiya.

Untuk itu, para Sakiya mengadakan rapat dan mendiskusikan: “Raja adalah musuh kita. Bilamana kita menolak memberikan apa yang ia minta, ia akan membunuh kita. Lagi pula ia tidak sebanding dengan derajad keturunan kita. Apa yang harus kita lakukan?” Mahanama berkata: “Saya memiliki seorang putri bernama Vasabhakhattiya, anak seorang budak-perempuanku, ia seorang gadi yang amat cantik; kami akan memberikan dia kepadanya.” Selanjutnya ia memberikatahukan kepada para duta: “Baiklah, kami akan memberikan seorang gadis kami kepada raja.” “Putri siapa dia?” “Gadis itu adlah putri Mahanama Sakiya, Mahanama adalah putra dari paman Samma Sambuddha. Gadis itu bernama Vasabhakattiya.” Para duta pulang dan melaporkan kepada raja.

Raja berkata: “Jika demikian, baiklah. Segera antar dia kepadaku. Namun para pangeran varna Ksatriya penuh dengan tipu daya; mereka mungkin saja mengirimkan kepadaku seorang gadis anak budak-wanita. Sehubungan dengan hal itu, jangan membawa dia sebelum ia makan semeja bersama dengan ayahnya.” Setelah ia berkata seperti itu, ia mengirm kembali para duta. Mereka menemui Mahanama dan berkata: “Raja, raja (kami) menginginkan Vasabhakhattiya makan bersama anda.” “Baiklah, jawab Mahanama. Ia menyuruh putrinya merias diri dan menemui dia pada waktu makan.

Selanjutnya ia berlagak makan bersama Vasabhakattiya, sesudah itu menyerahkan dia kepada para duta. Para duta mengantar Vasabhakhattiya ke Savatthi dan menceritakan kepada raja apa yang telah terjadi. Raja sangat gembira dan segera menunjuknya sebagai kepala dari 500 wanita dan menyatakan dia sebagai permaisuri utamanya.

Tidak lama kemudian Vasabhakhattiya melahirkan seorang putra, tubuhnya bagaikan emas. Raja sangat senang dan segerea memberi kabar kepada neneknya dengan kata-kata: “Vasabhakhattiya, putri raja Sakiya, telah melahirkan seorang putra. Berikan nama untuknya.” Ketika itu, menteri yang menerima dan akan menyampaikan berita kepada nenek raja adalah seorang yang agak tuli. Akibatnya, ketika nenek mendengar berita, dengan nyaring ia berkata: “Sebelum melahirkan anak, Vasabhakhattiya telah disenangi semua orang; apalagi sekarang, ia sangat luar biasa disayang (vallabha) oleh raja.” Menteri yang agak tuli, salah mendengar kata valabha (sayang) menjadi Vidudabha, lalu pergi dan melapor kepada raja: “Namakan Vidudabha kepada pangeran.” Raja mengira bahwa itu pasti salah sebuah nama lama dari keluarga kami, dan memberikan nama Vidudabha kepada bayi. Walaupun ketika ia masih kanak-kanak, raja mengangkat Vidudabha sebagai panglima perang tentaranya, dengan pikiran bahwa hal ini akan menyenangkan Guru.

Vidudabha dibesarkan sebagai pangeran. Ketika ia berusia 7 tahun, ia memper-hatikan bahwa para pangeran lain menerima hadiah boneka-boneka gajah, kuda, dan bentuk-bentuk lain dari para kakek mereka, maka ia bertanya kepada ibunya: “Ibu, para pangeran lain menerima hadiah dari kakek pihak ibu, tetapi tidak ada seorang pun yang mengirimkannya kepada saya. Apakah ibu tidak memiliki ayah dan ibu?” Ibunya menjawab: “Anakku sayang, kakekmu aalah para raja Sakiya, mereka tinggal jauh sekali; itulah sebabnya mereka tidak perbah mengirimkan sesuatu kepadamu.” Begitulah caranya ia membohongi ananknya. Begitu pula, ketika ia terlah berusia 16 tahun, Vidudabha berkata kepada ibunya: “Ibu, saya ingin sekali untuk pergi menemui keluarga ibu, yaitu kakek dari pihak ibu.” Namun Vasabhakhattiya menolak dengan berkata: “Tidak, anakku sayang, apa yang kau akan lakukan di sana?” Bagaimana pun ia menolak. Berulang kali anaknya memohon. Akhirnya ibunya memberikan izin dengan berkata: “Baiklah, engkau dapat pergi.” Ia memberitahukan kepada ayahnya dan berangkat dengan pengikut yang besar. Vasabhakhattiya mengirmkan surat lebih dahulu, dengan berita: “Saya hidup bahagia di sini. Mohon para raja dalam penerimaan tidak memperlakukan saya berbeda.” Ketika para Sakiya mengetahui bahwa Vidudabha sedang dalam perjalanan mendatangi mereka, mereka membicarakan hal ini:”Tidak mungkin bagi kita memberikan hormat kepadanya.” Karena itu mereka menyuruh para pangeran muda ke pedalaman, dan ketika Vidudabha tiba di kota Kapila, mereka berkumpul di gedung peristirahtan kerajaan. Vidudabha tiba berhenti di gedung peristirahatan kerajaan. Mereka berkata kepadanya: “Kawan, ini adalah kakek dari pihak ibumu dan ini pamanmu.” Sementara ia berjalan sambil memberikan hormat kepada mereka semua, ia perhatikan bahwa tidak ada seorang pun yang memberikan hormat kepadanya. Maka ia bertanya: “Mengapa tidak ada seorang pun yang memberikan hormat kepada saya?” Para Sakiya menjawab: “Kawan, para pangeran muda sedang pergi ke pedalaman.” Lalu melayani Vidudabha dengan segala haormat. Setelah berada di sana beberapa hari, ia pulang bersama para pengikutnya yang besar.

Sementara itu, seorang budak-wanita sedang mencuci tempat duduk yang bekas diduduki Vidudabha di gedung peristirahatan kerajaan dengan air dan susu; sedang melakukan pekerjaan itu pembantu ini dengan jelas berkata: “Inilah tempat duduk yang diduduki oleh putra seorang budak-wanita, Vasabhakhattiya!” Ketika itu ada seseorang yang telah melupakan pedangnya kembali untuk mengambilnya, selagi ia mengambil pedang itu, ia mendengar kata-kata pembantu wanita itu tentang pangeran Vidudabha. Ia menanyakan hal itu, dan mendapat informasi bahwa Vasabhakhattiya adalah putri dari budak-wanita dari Mahanama Sakiya. Ia kembali dan memberitahukan hal ini kepada pasukan dengan berkata: “Saya diberitahu bahwa Vasabhakhattiya adalah putri dari budak-wanita.” Segera hal ini menjadi pembicaraan umum. Ketika Vidudabha mengetahui hal ini, ia bersumpah: “Sekarang para Sakiya ini mencuci bebas tempat duduk saya dengan air dan susu; bilamana saya berkuasa di kerajaanku, saya akan mencuci tempat duduk dengan darah leher mereka.”

Setelah pangeran tiba di Savatthi, para menteri menceritakan apa yang telah terjadi. Raja sangat marah kepada Sakiya karena mereka memberikan

kepadanya putri dari seorang budak-wanita, ia mencabut kehormatan kerajaan yang telah diberikan kepada Vasabhakhattiya dan putranya dan menurunkan kedudukan mereka sebagai budak.

Beberapa hari kemudian Suru pergi ke istana dan duduk. Raja datang, memberi hormat kepada beliau dan berkata: “Bhante, Saya mendapat informasi bahwa putri seorang budak-wanita yang diberikan kerabat bahnte kepada saya. Itulah sebabnya maka saya mencabut kehodrmatan kerajaan yang telah diberikan kepada dia dan putrnya dan menurunkan kedudukan mereka menjadi budak.” Guru menjawab: “Maha raja, adalah tidak pantas para Sakiya melakukan itu. Bilamana mereka memberikan seorang putri, mereka harus memberikan kepadamu seorang gadis yang sepadan garis keturunannya dengan anda sendiri. Maha raja, tetapi ada sesuatu yang perlu saya katakan kepada anda: ‘Vasabhakhattiya adalah putri seorang raja dan menerima upacara kehormatan di istana raja varna Kesatriya, Vidudabha juga putra seorang raja. Apa pentingnya keluarga dari ibu? Keluarga dari ayahlah yang berhak sebagai ukuran kedudukan sosial. Para bijaksana yang lampaupun memberikan kehormatan permaisuri utama kepada wanita miskin pencari kayu; dan kepada pangeran yang dilahirkannya menjadi raja Baranasi, sebuah kota yang luasnya 12 yojana, yang diberi nama Katthavahana.” Setelah berkata begitu, Beliau menguraikan Katthaharika Jataka (Jataka 7: i. 133-136). Raja mendengar babaran Dhamma Beliau, dan merasa senang dengan pikiran: “Kelurga dari pihak ayahlah yang berhak sebagai ukuran kedudukan sosial,” maka ia mengembalikan kedudukan dan kehormatan ibu dan anak.

Sementara itu, Mallika, putri Mallika dan Bandhula, panglima perang, telah lama tidak memiliki anak. Sehubungan dengan hal itu, Bandhula menyuruhnya pergi dengan berkata: “Pulanglah kepada keluargamu.” Mallika berpikir: “Saya akan menmui Guru sebelum saya pergi.” Selsanjutnya ia pergi ke Jetavana, memberikan hormat kepada Tathagata, dan menunggu. “Mau ke mana?” tanya Guru. “Suamiku telah memulangkan saya kepada keluargaku, Bhante.” “Mengapa.” “karena saya mandul, tidak mempunyai anak seorang pun.” “Jikalau ini benar, maka tidak ada alasan bagimu untuk kembali kepada keluargamu. Kembali kpada suamimu.” Dengan riang gembira, ia memberikan

hormat kepada Guru dan kembali kepada suaminya. “Mengapa kau kembali,” tanya suaminya. “Saya telah diperintahkan untuk kembali oleh dia yang memiliki Dasabala (Sepuluh kemampuan batin),” jawab Mallika. “Dia Yang Melihay-Jauh pasti telah melihat beberapa alasan,” pikir Bandhula dan menyetujui.

Tidak lama kemudian Mallika hamil, dan mengidam muncul. Ia berkata kepada suaminya: “Mengidam telah muncul.” “Apa yang kau inginkan?” Ia menjawab: “Suamiku, di kota Vesali ada sebuah tangki kolam-teratai (buatan) yang biasa digunakan oleh tentara para pangeran pada upacara pelantikkan raja. Saya ingin masuk ke dalamnya, berenang di dalam nya, dan meminum airnya.” “Baiklah,” kata Bandhula, dan mengambil busur panahnya yang hanya dapat ditarik oleh 1000 orang, ia membantu istrinya menaiki kereta dan berangkat dari Savatthi ke Vesali, memasuki Vesali melalui gerbang yang telah diberikan oleh para Licchavi kepada Pangeran Mahali. Sementara itu pangeran Licchavi, Mahali, tinggal di gedung di samping gerbang; maka ketika ia mendengar gemuruh sura kereta di dekatnya, ia berkata sendiri: “Itu suara kereta Bandhula. Ada kerusuhan yang akan muncul bagi para pangeran Licchavi hari ini.”

Bagian dalam dan luar dari kolam-teratai dijaga dengan ketat, dan kolam itu ditutupi dengan kerangka besi dengan lobang-longan yang sangat kecil sehingga burung pun tidak dapat memasukinya. Namun bandhula, panglima perang, turun dari kereta, memukulkan tombaknya kepada para penjaga, dan mengusir mereka pergi. Ia merusak kerangka besi, masuk ke dalam kolam-teratai, dan membiarkan istrinya mandi di dalamnya. Setelah ia sendiri mandi di situ, ia keluar dari kota dan kembali ke jalan yang sama yang telah dilaluinya.

Para penjaga melaporkan kejadian ini kepada para pangeran Licchavi. Akibatnya para pangeran Licchavi sangat marah, lalu menaiki 500 kereta, berangkat ke luar kota, dengan berkata: Kami akan menangkap Bandhula dan mallika.” Mahali berkata kepada mereka: “Jangan pergi, karena dia akan membunuh kamu sekalian.” Tetapi mereka menjawab: “Kami tetap akan pergi.” “Baiklah, tetapi baliklah bilamana anda sekalian melihat keretanya masuk ke dalam tanah hingga setinggi pinggang. Bilamana pada waktu anda sekalian tidak balik, anda sekalian akan mendengar di depan anda gelegar halilintar.

Anda sekalian pada waktu itu harus segerak balik. Namun bilamana pada saat itu anda belum berbalik arah, anda sekalian ankan melihat lobang di bagain depan dari kereta. Berbaliklah, dan jangan maju lagi.” Tetapi bagaimana pun usaha Mahali untuk memperingati mereka, mereka tidak berbalik arah, malahan tetap mengejar Bandhula.

Mallika melihat mereka dan berkata: “Suamiku nampak banyak kereta.” “Baik! Bilamana mereka semua nampaknya hanya bagaikan sebuah kereta saja, katakan padaku.” Demikianlah ketika mereka semua nampak seperti sebuah kereta saja, Mallika berkata: “Mereka nampaknya bagikan kereta yang di depan saja.” “Bagus sekali,” kata Bandhula, “pegang tali kekang ini.” Ia memberikan tali kekang kepada Mallika, ia berdiri di kereta dan mengangkat busurnya. Akibatnya kereta masuk ke dalam tanah setinggi pinggang. Walaupun para pangeran Licchavi melihat kereta Bandhula masuk ke dalam tanah, namun mereka tidak berbalik arah. Setelah beberapa saat kemudian, Bandhula menarik tali busurnya, muncul suara bagaikan gelegar halilintar. Namun demikian para musuhnya tidak berbalik arah, mereka tetap mengejarnya seperti semula. Kemudian Bandhula yang berdiri di atas keretanya, melepaskan sebatang anak panah. Anak panah membuat lobang di depan dan menembus badan semua 500 kereta serta di bagian ‘baju perang ketat’ (korset) mereka dan masuk ke tanah. Tetapi para pangeran Licchavi tidak menyadari bahwa mereka telah ditembusi anak panah, dan berteriak: “Berhenti di mana kamu. Berhenti di mana kamu!” Setelah berkata begitu mereka meneruskan pengejaran. Bandhula menghentikan keretanya dan berkata: “Kamu semua adalah mayat! Saya tidak akan berkelahi melawan mayat.” “Apakah kami nampak seperti mayat?” tanya mereka. “Baiklah,” jawab Bandhula, “lepaskan baju perang ketat dari orang kamu yang terdepan.” Mereka melepaskan gidlenya. Pada saat baju perang ketat dilepaskan orang itu jatuh dan mati. Kemudian Bandhula berkata: “Anda sekalian mempunyai nasib yang sama dengan pemimpinmu. Pulanglah, selesaikan urusan anda sekalian yang perlu diselesaikan, berikan nasehat terakhir kepada para putra dan istri anda sekalian dan lepaskan baju perang anda.” Mereka melakukannya, selanjutnya mereka semua jatuh dan mati. Kemudioan bandhula meneruskan perjalanan ke Savatthi.

Enambelas kali Mallika melahirkan putra-putra kembar Bandhula, mereka semua perkasa, dan memiliki kekuatan yang hebat. Mereka semua

sempurna dalam beberapa keahlian. Mereka masing-masing memiliki pengikut sebanya 1000 orang; dan ketika mereka mengikuti ayah mereka ke istana, istana dipenuhi oleh kelompok mereka. Pada suatu hari ada beberapa orang yang telah dikalahkan karena tuntutan salah dipengadilan melihat Bandhula mendatangi, dengan suara yang lantang mereka meneriakkan protes kepadanya karena pengadilan yang tidak adil dari para hakim. Karena hal itu Bandhula pergi ke pemngadilan dan menyelesaikan kasus secara bijaksana sesuai kebenaran bagi yang benar. Para penduduk memuji dia dengan teriakan nyaring karena setuju. Raja bertanya: “Apa yang telah terjadi?” Ketika raja mendapat keterangan, ia sangat senang, lalu raja memecat semua hakim, selanjutnya menyerahkan administrai pengadilan kepada bandhula sendiri, dan dialah yang menghakimi semua perkara di pengadilan.

Para hakim yang kehilangan kesempatan menerima sogokkan, membuat perpecahan di antara anggota keluarga istana, dengan berkata: “Bandhula menginginkan tahta kerajaan.” Raja percaya pada kata-kata mereka dan tak sanggup mengendalikan perasaannya. “Namun,” pikirnya, “bilana Bandhula di bunuh disini, saya akan sangat dikritik.” Dalam pikiran yang lain ia memerintahkan beberapa orang untuk membuat kerusuhan di perbatasan negara. Kemudian raja memanggil dan memerintahkan Bandhula

Dengan berkata: “Saya mendapat informasi bahwa di perbatasan ada pemberontakan. Bawa para putramu, pergi dan tangka para pemberontak.” Raja mengirimkan bersama Bandhula sejumlah kesatryanya yang sangat kuat, dengan perintah: “Pancung kepala bandhula dan 32 putranya dan bawa (kepala-kepala) mereka kedaku.” Ketika bandhula mencapai perbatas, dan para pemberontak yang disewa mendengar kedatangan panglima perang, mereka lari. Bandhula menyelesaikan keamanan kerajaan dengan baik, menciptakan kedamain, dan berangkat pulang. Ketika Bandhula mencapai tempat yang tidak jauh dari kota, para kesatrya yang bersamanya menyerang dia dan memancung kepala-kepala bandhula dan anak-anaknya.

Pada hari itu Mallika mengundang mengundang dua Siswa Utama bersama 500 bhikkhu ke rumahnya. Pada pagi itu seseorang membawa surat dan memberikan surat itu kepadanya yang berisi berita: “Kepala suami dan para putra anda telah di penggal.” Ketika ia membaca surat ini, ia tidak berkata sesuatu kepada siapa pun, namun memasukkan surat itu ke dalam lipatan

pakaiannya dan meneruskan pelayanan kepada bhikkhu sangha seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Sementara itu, terjadi suatu kejadian yakni ketikan pelayannya memberikan makanan kepada para bhikkhu, mereka membawa sebuah tempayan berisi ‘susu yang diragikan’ (ghee) dan tempayan itu jatuh dan pecah di depan para Thera. Pelindung Keyakinan (bhikkhu) berkata: “Tidak perlu diperdulikan kepecahan sesuatu yang mudah pecah.” Karena itu Mallika mengambil surat yang ada dalam lipatan pakaiannya, dan berkata: “Mereka baru saja menyampaikan surat ini, yang berisikan berita: ‘Kepala suami dan para putra anda telah dipenggal.’ Walaupun saya mendapat berita ini, saya tidak bereaksi apa-apa. Maka bagaimana saya akan memperdulikan pecahnya tempayan ini, Bhante?”

Para Pelindung Keyakinan mengucapkan syair (paritta) yang dimulai dengan kata: “Tanpa tanda, tanpa tahu, kematian terjadi di sini,” dan setelah membabarkan dhamma, mereka bangkit dari duduk dan pergi ke vihara. Mallika memanggi 32 menantunya dan menasehati mereka sebagai berikut: “Para suami anda sekaliantidak bersalah dan mereka hanya menerima matangnya buah kamma buruk mereka yang dibuat pada masa yang lampau. Tidak usah bersedih dan meratap. Jangan benci kepadanya.” Mata-mata kerajaan mendengar ucapannya dan pergi melaporkan hal ini kepada raja bahwa mereka tidak membenci raja. Setelah mendengar laporan ini raja diliputi oleh perasaan yang tidak menyenangkan, lalu ia pergi ke rumah Mallika, meminta Mallika bersama para menantunya untuk memaafkannya serta memberikan sebuah “anugerah” (boon) kepada Mallika. “Saya menerimanya,” jawan Mallika.

Setelah raja pergi, ia melaksanakan upacara berduka cita, ia mandi dan pergi menghadap raja, dan berkata: “Maha raja, anda memberikan kepadaku sebuah ‘anugrah’.Saya tidak menginginkan yang lain kecuali hal ini, yakni izinkan saya bersama 32 menantuku untuk kembali ke rumah keluarga kami.” Raja menyetujui, maka Mallika memulangkan 32 menantunya ke keluarga mereka masing-masing, sedangkan ia sendiri pergi ke kota Kusinara, kembali ke rumah keluarganya. Raja mengangkat panglima perangh baru yaitu Dighakarayana, kemenakan dari panglima perang Bandhula. Namun Dighakarayana mengeritik raja dengan menyebarkan berita: “Rajalah yang membunun pamanku.”

Sejak pada hari raja membunuh Bandhula yang tak bersalah, ia diliputi

kesedihan, pikirannya tidak tenang, dan tidak bersemangat memerintah kerajaan. Ketika itu Guru tinggal di sebuah desa kecil bernama Ulumpa, milik suku Sakiya. Raja pergi ke sana, dan berkemah di tempat yang tidak jauh dari Taman, tempat Guru berada, dan raja berpikir: “Saya akan pergi memberikan hormat kepada Guru,” lalu ia pergi ke vihara, bersama beberapa pengawal. Ia menyerahkan 5 simbol (kekuasaan) kerajaan kepada Dighakarayana, lalu memasuki Gandha Kuti. (Cerita ini sesuai dengan uraian dalam Dhammacetiya Sutta, M.N. 89: ii. 118-125).

Setelah Raja Pasenadi masuk ke Gandha Kuti, Karayana mengambil 5 simbol (kekuasaan) kerajaan dan membuat Vidudabha menjadi raja. Kemudian ia pergi ke Savatthi dengan hanya meninggalkan seorang pelayan wanita bersama seekor kuda untuk

Pasenadi. Raja senang bercakap-cakap dengan Guru, setelah itu ia keluar. Ia tidak melihat para pengawal, ia bertsanya kepada pelayan, dan dari pelayan itu ia mengetahui apa yang telah terjadi. “Saya akan mengajak kemenakan sayadan menangkap Vidudabha,” kata raja, lalu pergi ke kota Rajagaha. Ketika ia tiba di kota waktu telah larut malam, germabang kota telah di tutup. Kerana kelelahan dan tertimpa matahari dan angin, maka Pasenadi beristirahat dengan berbaring di sebuah rumah peristirahatan , naman ia meninggal pada malam itu. Ketika malam berangsur menjadi pagi, Oarang-orang mendengar suara wanita yang menangis dengan berkata: “Raja Kosala, anda telah kehilangan Pelindungmu!” Mereka melaporkan hal ini kepada raja. Untuk itu Vidudabha melakukan upacara kematian untuk Pasenadi dengan penuh kebesaran.

Setelah Vidudabha menjadi raja, ia ingat dendamnya. Ia mendumel sendiri: “Saya akan membunuh para Sakiya,” maka ia berangkat dengan pasukan yang bersar jumlahnya. Pada hari itu Guru sedang memeriksa dunia di sore hari, beliau melihat ada malapetaka kehancuran para para kerabatnya, dan berpikir: “Saya akan melindungi kerabatku.” Beliau pergi pindapata di pagi hari, setalah kembali beliau berbaring dengan posisi seperti singha di Gandha Kuti; dan di sore hari beliau terbang ke angkasa dan duduk di bawah sebuah pohon beringin (Banyan) rindang tidak jauh dari Kapilavatthu yang juga tidak jauh dari perbatasan kerajaan Vidudabha.

Vidudabha melihat Gur, mendatanginya, memberikan hormat, dan berkata: “Bhante, mengapa pada waktu yang sangat panas ini Bhante duduk di

bawah pohon yang rindang ini?” “Maha raja, tidak perlu di perdulikan hal in i. Kerindangan keluargaku membuat saya dingin.” “Guru datang, tentu dengan tujuan untuk melindungi keluarganya,” pikir Vidudabha. Setelah ia memberikan hormat kepada Guru, ia pergi dan pulang ke Savatthi. Guru melayang ke angkasa dan kembali ke Jetavana.

Raja mengingat kembali kebenciannya kepada suku Sakiya, maka ia pergi untuk kedua kalinya, namun karena melihat Guru berada di tempat yang sama, ia pulang. Begitu pula untuk ketiga lainya, ia melihat guru berada pula di tempat yang sama, maka ia berbalik pulang. Namun ketika ia pergi keempat kali, Guru melihat perbuatan-perbuatan lapau para Sakiya dan menyadari bahwa tidak mungkin untuk menghalangi akibat perbuatan jahat yang telah mereka lakukan dengan memasukkan racun ke dalam sungai, maka beliau tidak pergi untuk keempat kali.

Sehingga Vidudabha dengan kekuatan yang besar pergi dengan berkata: “Saya akan membunuh para Sakiya.” Pada waktu itu para kerabat Samma Sambuddha tidak membunuh musuh, malahan mereka rela mati daripada membunuh orang lain. Maka mereka saling berkata: “Kita terlatih dan ahli; kita ahli dalam memanah dan terbiasa menggunakan busur panjang. Karena salah bila kita memnunuh orang lain, kita akan mengusir mereka dengan cara mempertunjukkan keahlian kita.” Selanjutnya mereka mengenakan baju perang mereka, maju ke medang perang dan mulai berperang. Panah-panah yang mereka lepaskan melayang melalui pasukan Vidudabha, melewati antara tameng-tameng mereka dan melalui antarabkuping dan kepala mereka, namun tidak mengenai seorang pun. Ketika Vidudabha meliaht panah beterbangan, ia berkata: “Saya mengerti bahwa karena kesombongan para Sakiya mereka mengatakan bahwa mereka tidak membunuhmusuh mereka; tetapi nyatanya sekarang mereka membunuh pasukanku.” Salah seorang anggota pasukannya berkata: Tuan, mengapa anda berbalik dan lihatlah keadaan anda?” “Para Sakiya membunuh orang-orang kita.” “Tidak ada seorang pun dari pasukan anda yang mati; mohon silahkan hitung.” Ia menyuruh hitung dan mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang hilang.

Vidudabha membalikkan badannya dan ia berkata kepada pasukannya: “Saya perintahkan kepada anda sekalian untuk membunuh siapa saja yang mengatakan: ‘Kami adalah Sakiya, tetapi selamatkan mereka adalah keluarga

Mahanama Sakiya.” Para Sakiya tetap berdiri di tempat mereka dan karena tidak ada lagi sumber lain, maka ada yang memegang daun yang di letakkan diantara giri, sedang yang lain memegang alang-alang (reeds). Pada waktu itu bagi para Sakiya lebih baik mati daripada mengatakan hal yang tidak benar. Maka ketika mereka di tanya: “Apakah anda Sakiya atau tidak?” Mereka yang memegang daun di antara gigi mereka berkata: “Bukan Saka (peruk tanah) tetapi “rumput’; sedangkan mereka yang memegang alang-alang, berkata: “Bukan saka, tetapi alang-alang.” Kehidupan keluarga Mahanama dapat diselamatkan. Para Sakiya yang memegang rumput di gigi mereka dikenal sebagai Sakiya rrumput; sedangkan mereka yang memegang lang-alang dikenal sebagi Sakiya Alang-Alang. Vidudabha membunuh semuanuya, tanpa kecuali termasuk anak-anak yang masih menyusu sekalipun. Setelah ia menciptakan sungai darah, ia mencuci tempat duduknya dengan darah dari leher mereka. Demikianlah keturunan Sakiya dilenyapkan oleh Vidudabha.

Vidudabha nmenangkan Mahanama Sakiya dan berangkat pulang. Ketika sudah waktunya untuk sarapan, Vidudabha berhenti di suatu tempat dan berpikir: “Sekarang saya akan sarapan.” Setelah makanan disiapkan untuknya, ia berkata sendiri: “Saya akan makan bersama kakekku,” dan menyuruh seseorang utuk memanggilnya datang. Pada masa itu anggota dari varna Ksatriya lebih baik mati daripada makan bersama anak-anak dari budak perempuan. Begitulah ketika melihat sebuah danau, ia berkata: “Cucuku sayang, anggota tuuhku kotor, saya mau pergi mandu dulu.” “Baiklah Kakek, pergi dan mandilah.” Mahanama berpikir: “Bilamana saya menolak makan bersamanya, ia akan membunuh saya. Bila demikian, lebih baik saya mati dengan tanganku sendiri.” Setelah melepaskan ikatan rambutanya, ia mengikatkan ujung rambutnya, menempatkan ibu-jarinya pada rambut, dan menyeburkan diri ke air.

Karena kekuatan jasa pahalanya, tempayt tinggal para (dewa) Naga menjadi panas. Raja naga , mempertimbangkan hal ini: “Apa artinya hal ini?” pergi menemui Mahanama, mendudukkan dia diatas kepalanya, dan membawanya ke tempat tinggal para Naga. Di sana ia tinggal selama 12 tahun. Sedangkan, ketika Mahanama menyeburkan diri ke air, Vidudabha duduk dan berpikir: Sudah saat nya kakek saya akan datang; sekarang kakakek saya akan

datang.” Akhirnya setelah kakeknya telah lama ditunggu dan tidak muncul, ia berpikir dan menyuruh orang untuk mencari kakakeknya dengan menggunakan lampu, termasuk memeriksa di dalam pakaian para pasukannya. Namun karena tidak menemukan kakeknya di mana pun, ia berpendapat: “Ia telah pergi,” selanjutnya ia berangkat.

Dalam perjalanannya ia kemalaman, Vidudabha sampai di sungai Aciravati dan berkemah di situ. Di antara pasukannya ada yang berbaring di atas pasir dari dari sungai yang kering, ada yang berbaring di tepi sungai pada tanah yang keras. Sementara itu mereka yang berbaring pada sungai yang kering tidak melakukan perbuatan yang salam pada banyak kehidupan yang lampau, sedangkan mereka yang berbaring pada tanah keras di tepi sungai telah berbuat perbuatan salah pada banyak kehidupan yang lampau. Terjadi kejadian, banyak semut keluar dari tanah di mana mereka berbaring. Maka mereka bangun dan berkata: “Banyak semut di tempat kami berbaring! Banyak semut di tempat kami berbaring!” Mereka yang tidak melakukan banyak perbuatan jahat pada waktu ehidupan yang lampau bangun dari tempat mereka di sungai yang kering dan berbaring di tanah keras di tepi sungai; sedangkan mereka yang telah melakukan banyak perbuatan salah pada kehidupan yang lampau, turun dan berbaring di sungai yang kering. Pada beberapa saat kemudian badai sangat hebat muncul dan terjadi hujan yang sangat lebat. Banjir memenuhi sungai dan menghanutkan Vidudabha dan pasukannya ke laut, dan mereka semua menjadi makanan ikan dan kura-kura.

Masyarakat ( di antaranya para bhikkhu juga) membicarakan hal ini; Pembunuhan para Sakiya adalah tidak pantas. Tidak benar mengatakan: Para Sakiya harus dibunuh,’ pancung dan bunuh mereka.” Guru mendengar pembicaraan mereka dan berkata: “Para bhikkhu, bilamana anda sekalian hanya memperhatikan kehidupan sekarang saja , maka hal itu sangat tidak pantas bahwa para Sakiya mati dengan cara begitu. Bagaimana pun apa yang mereka terima adalah adil, karena mempertimbangkan perbuatan buruk yang telah mereka lakukan pada sebuah kehidupan yang lampau.” “Apakah perbuatan buruk yang telah mereka lakukan pada kehidupan yang lampau, Bhante?” “Pada kehidupan yang lampau mereka berkonspirasi bersama dan melemparkan racun ke dalam sungai.”

Juga pada suatu hari, para bhikkhu melakukan diskusi di Dhammasala:

“Vidudabha membunuh semua Sakiya, dan kemudian sebelum keinginan terpenuhi, dia dengan pasukannya hanyut ke laut dan menjadi makanan ikan dan kura-kura.” Guru datang dan bertanya: “Para bhikkhu, apa yang anda sekalian percakapkan dengan berkumpul di sini?” Keika menceritakan kepadanya, beliau kerkata: “Para bhikkhu, apakah keinginan para makhluk hidup ini terpenuhi, bagaikan banjir besar menyapu desa yang lelap, begitu pula Raja Kematian mempersingkat hidup mereka dan menyemplung mereka ke empat lautan penderitaan,” Setelah mengatakan hal itu, beliau mengucapkan syair berikut ini:

43. “Walaupun seseorang sedang mengumpul bunga-bungaan, dengan batinnya

diliputi napsu indria, kematian menyeretnya bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.”

2. PATIPUJIKAYA-VATTHU

“Walaupun seseorang sedang mengumpul bunga ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi, berkenaan dengan seorang wanita bernama Patipujika (pemuja suami). Ceritanya dimulai di alam Tavatimsa,

Tesebutlah ada sesosok dewa bernama Malabhari disertai 1000 dewi masuk ke taman kesenangan di alam dewa Tavatimsa. Lima ratus dari para dewi ini memanjat pohon dan melempar bebuangaan ke bawah; 500 dewi yang lain mengumpul bunga yang jatuh dan mengenakannya kepada dewa. Salah sesosok dewi dari para dewi ini, selsgi ia duduk di cabang sebuah pohon, ia meninggal dari alam ini, tubuhnya lenyapseperti nyala lampu, dan masuk dalam sebuah pembuahan (dalam kandungan) pada sebuah keluarga di Savatthi. Kemudian lahir dengan dapat mengingat kembali kehidupannya yang lalu, dan ingat bahwa ia adalah istri dari dewa Malabhari. Ketika ia bertumbuh menjadi remaja ia melaksanakan puja bhakti dengan wewangian dan bebuangaan, dan membuat tekad utuk terlahir kembali bersama suaminya.

Ketika ia berusia 16 tahun, ia kawin dengan seorang pria dari keluarga lain. Kapan pun, bilamana ia memberikan dana makanan (pindapata) pada hari tertentu, pada setiap dua minggu atau pada musim vassa, ia akan berkata: “Semoga dana ini membantu saya untuk terlahir kembali bersama suamiku yang dulu.” Para bhikkhu berkata: “Wanita ini, walaupun selalu sibuk dan aktif, hanya merindukan suaminya.” Karena itu mereka menamakannya Patipujika (pemuja suami). Secara tetap ia mengurus Ruangan Pertemuan (Asanasala) dengan menyiapkan air minum, dan menyediakan tempat duduk bagi para bbhikkhu. Bilamana ada orang yag ingin mendanakan makanan setiap hari atau setiap dua minggu, mereka akan membawa makanan itu dan menyerahkannya kepadanya, dengan berkata: “Nyonya, tolong berikan ini kepada bhikkhu sangha.” Dengan melakukan hal-hal ini ia sekali gus mendapat 56 Kusaladhamma. Ia hamil dan pada akhir 10 bulan lunar ia melahirkan serang putra; ketika putranya telah dapat berjalan, ia melahirkan seorang putra pula, kemudian yang lain, sehingga ia memiliki 4 putra.

Pada suatu hari ia memberikan dana, memberikan hormat kepada para bhikkhu, mendengar dhamma serta melaksanakan sila, namun pada akhir dari hari itu ia meninggal karena sakit yang tiba-tiba, dan terlahir kembali bersama suaminya yang lampau. Selama waktu itu para dewi yang lain sedang mengenakan bunga kepada dewa. Ketika dewa Malabhari melihatnya, ia berkata: “Kami tidak melihatmu sejak pagi. Ke mana saja anda?” “Saya meninggal dari kehidupan ini, suamiku.” “Apa yang anda katakan?” “Seperti itulah, suamiku.” “Di mana anda terlahir kembali?” “Pada sebuah keluarga yang tinggal di Savatthi.” “Berapa lama anda berada di sana?”

“Pada akhir 10 bulan lunar saya lahirdari kandungan ibuku. Ketika saya berusia 16 tahun, saya kawin dengan seorang pria dari keluarga lain. Saya melahirkan 4 putra, memberikan dana-dana makanan, memberikan hormat kepada bhikkhu, membuat tekad kuat untuk terlahir kembali bersamamu, suamiku.” “Berapa panjang usia manusia?” “Hanya 100 tahun.” “Begitu pendek seperti itu?” “Ya, suamiku.” “Bilamana manusia terlahir kembali dan hidup begitu pendek usianya, apakah mereka hidup tidur dan tidak waspada atau mereka memberi dana-dana dan memberikan hormat?” “Apa yang anda katakan, suamiku? Manusia selalu tidak waspada, bagaikan ia akan hidup selama satu kappa, atau bagaikan ia tidak akan diliputi usia tua atau kematian.”

Dewa Malabhari sangat terpengaruh. Ia berkata: Bilamana, seperti yang anda katakan nahwa manusia terlahir kembali dengan hidup 100 tahun, dan mereka hidup tidak waspadandan tidur, maka kapan mereka akan terbebas dari penderitaan?” (Sementara itu, 100 tahun manusia adalah sama dengan se hari semalam alam dewa Tavatimsa, 30 hari seperti itu adalah satu bulanm, 12 bulan adalah satu tahun, dan panjang kehidupan alam dewa Tavatimsa adalah 1000 tahun surgawi, atau dalam tahun manusia itu sama dengan 36 juta tahun. Sehingga kehidupan dewi didunia ini bagi alam dewa adalah itu belum satu hari; juga belum sesaat. Itulah sebabnya ia (Dewa Malabhari) berpikir: “Bilamana kehidupan manusia begitu pendek, maka tidah tepat bagi mereka unyuk hidup tidak waspada.”)

Pada keesokan harinya ketika para bhikkhu masuk ke dalam desa, menemukan Ruangan Pertemuan tidak rapi, tempat duduk tidak siap, dan air minum tidak tersedia. “Patipujika pergi ke mana?” tanya mereka. “Para bhante,

bagaimana anda sekalian berharap untuk melihatnya? Kemarin sore, stelah beberapa lama anda sekalian makan, ia meninggal.” Demikianlah, bagi para bhikkhu yang belum mencapai Sotapana, mengenang kebaiakn pelayanannya, tak dapat menahan linangan air mata; sedangkan para bhikkhu yang telah mencapai ke-arahat-an diliputi dengan perasaan religius.

Setelah mereka selesai sarapan, mereka pergi ke vihara dan bertanya kepada Guru: “Bhante, Patipujika sangat sibuk dan aktif, selalu melakukan semua perbuatan baikdan berkehendak untuk terlahir kembali dengan suaminya yang lampau. Di mana ia terlahir kembali?” Para bhikkhu, ia telah terlahir kembali bersama suaminya yang lampau.” “Bhante, tetapi ia tidak mati bersama suaminya.” “Para bhikkhu, ia tidak berkehendak dengan suaminya yang itu. Suami yang dimaksudnya adalah Dewa Malabhari di alam dewa Tavatimsa . Ia meninggal dari alam itu ketika ia sedang mengenakan bunga-bungaan kepadanya. Sekarang ia telah kembali di mana ia berada sebelumnya dan telah terlahir kembali bersamanya.”

“Bhante, betapa pendeknya usia kehidupan makhluk di dunia ini! Di pagi hari ia melayani kami dengan makanan, di waktu sore ia sakit dan meninggal.” Guru menjawab: “Para bhikkhu, ya. Kehidupan makhluk di dunia ini memang sangat pendek. Itulah sebabnya, sementara para makhluk di dunia ini menginginkan hal-hal di dunia ini dan belum memuaskan nafsu keinginan mereka, kematian mengalahkan mereka dan membawa mereka ke dalam ratap dan tangis.”

Setelah berkata demikian, beliau mengucapkan syair berikut:

44. “Walaupun seseorang sedang mengunpul bunga-bungaan, dengan pikiran kacau dan tak pernah puas, ia akan di bawah kekuasaan sang penghancur.”

5. MACCHARIKOSIYASETTHI-VATTHU

(Hartawan Kosiya yang kikir)

“Bagaikan tawon yang tidak merusak bunga ....” Uraian dhamma ini dibabarkan guru ketika beliau tinggal di Savatthi berkenaan dengan hartawan Maccharikosiya. Cerita ini mulai di Rajagaha.

Tersebutlah bahwa di kota Sakkara, yang terletak tidak jauh dari kota Rajagaha, tinggal seorang hartawan bernama Maccharikosiya, yang memiliki harta sebanyak 80 koti. Tidak pernah setetes minyak pun, walau hanya sekecil tetesan minyak yang dapat tetap berada di ujung daun yang ia berikan kepada orang lain maupun ia gunakan sendiri. Akibatnya, betapa besar pun kekayaannya, namun itu tidak memberikan kenikmatan kepada para putra dan putrinya atau para bhikkhu serta brahamana, kekayaannya tak digunakan, bagaikan kolam yang dijaga oleh para makhluk penunggu yang jahat.

Pada suatu hari, di pagi hari, Guru setelah menyelesaikan meditasi pencapaian mahakaruna dan dengan mata Buddha siapa-siapa yang memiliki keyakinan di dunia ini. Ketika sedangka melakukan penglihtan ini, beliau melihat bahwa pada jarak 45 yojana ada seorang hartawan dan istrinya yang memiliki kemampuan untuk mencapai sotapatti-phala.

Pada keesokan harinya, hartawan pergi ke istana untuk menemui raja. Dalam perjalan pulang, setelah menemui raja, ia melihat seseorang yang agak lapar sedang makan puva (kue bulat) yang diisi dengan kacangan asam. Pemandangan ini membuatnya lapar. Ketika ia tiba di rumahnya sendiri, ia berpikir: “Bila saya berkata secara terbuka bahwa saya ingin makan kue bulat, maka banyak orang lain yang ingin makan bersama saya. Bila demikian akan banyak menghabiskan sesama, beras, ghee, jaggery dll.. Lebih baik saya tidak akan mengatakan apa-apa kepada siapa pun.” Demikianlah ia tetap berjalan, menahan lapar semampu mungkin. Namun setelah beberapa jam kemudian, ia nampak pucat dan semakin pucat, vena-vena nampak jelas di seluruh tubuhnya. Akhirnya, karena tidak dapat menahan lapar lebih lama lagi, ia masuk ke kamarnya dan berbaring di tempat tidur. Walaupun ia menderita kelaparan, namun karena takutnya akan kehilangan kekayaannya, maka ia tidak berbicara kepada siapa pun.

Selagi ia berbaring, istrinya menemuinya, mengusap punggungnya dan

bertanya kepadanya: “Suamiku, ada apa denganmu?” “Tidak ada masalah.” “Apakah raja memarahimu?” “Tidak, raja tidak marah padaku.” “Kalau begitu mungkin putra dan putrimu atau para budak dan pelayan, telah melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan untukmu?” “Tidak ada hal seperti tu.” “Namun, mungkin ada sesuatu yang anda inginkan?” Ketika istrinya berkata begitu, dan karena takutnya akan kehilangan kekayaannya maka ia tidak menjawab sepatah kata pun, tetap berbaring diam di tempat tidur. Kemudian istrinya berkata kepadanya: “Suamiku, katakan apa yang anda inginkan?” Lalu suaminya berkata dengan suara bagaikan di telan: “Ya, saya menginginkan sesuatu.” “Apa yang anda inginkan, suamiku?” “Saya ingin makan kue bulat (puva).”

“Mengapa anda tidak mengatakan padaku? Apakah anda orang miskin? Saya segera menyiapkan kue bulat yang cukup untuk dimakan oleh seluruh penduduk kota Sakkara.” “Mengapa anda memperdulikan mereka? Mereka sebaiknya bekerja dan mendapat uang untuk membeli makanan.” “Baiklah saya akan menyiapkan kue untuk orang-orang di sepanjang sebuah jalan.” “Saya selalu pikir anda terlalu berlebihan.” “Bila demikian, maka saya akan menyiapkan kue yang cukup bagi semua orang yang ada di rumah ini.” “Saya selalu pikir anda terlalu royal.” Kalu begitu saya akan menyiapkan kue yang cukup untuk anda, anak-anakmu serta istrimu.” “Mengapa anda memperdulikan mereka?” “Baiklah, saya akan menyiapkan kue yang cukup untuk anda dan saya.” “Mengapa anda berpikir akan mendapatnya?” “Baiklah, kalau begitu saya akan menyiapkan kue hanya untukmu seorang.”

Kemudian suaminya berkata: “Banyak orang akan melihatmu bila memasak di dapur ini. Maka simpanlah beras yang lain, ambil beras yang patah, ambil belanga, tungku, susu sedikit, ghee (susu yang diasamkan), madu dan jagghery, lalu pergi ke lantai atas di tingkat tujuh rumah ini, di sana saya sendiri akan duduk dan makan.” “Baiklah,” jawab istrinya dengan janji akan memenuhi keinginannya. Ia menyuruh menyiapkan semua hal yang diperlukan, lalu naik ke lantai teratas, menyuruh para pelayan pergi dan menyuruh seseorang memanggil suaminya datang. Suaminya naik dari lantai satu ke lantai-lantai lain di atas, menutup dan mengunci setiap pintu, hingga akhirnya ia sampai di lantai tujuh. Dan setelah ia menutup dan mengunci pintu, ia duduk. Istrinya mulai menyalakan api di tungku, menempatkan belanga di tungku, dan mulai memasak kue.

Sementara itu di pagi hari Guru berkata kepada Maha Moggallana Thera: “Moggallana, di kota Sakkara, dekat kota Rajagaha, seorang hartawan kikir, ingin makan kue goreng, tetapi karena takut seseorang melihatnya, maka ia menyuruh masak kue di lantai tujuh rumahnya. Pergi ke sana, kuasai hartawan itu, tanamkan padanya manfaat meninggalkan pemuasan indria, dengan kekuatan batinmu bawalah hartawan beserta istrinya, kue-kue, susu, dadi susu, madu dan jaggery ke Jetawana. Hari ini saya akan duduk bersama 500 bhikkhu dan akan makan kue-kue itu. “ “Baiklah, Bhante,” jawab Thera, menyetujui akan melaksanakan perintah Guru.

Dengan kemampuan batinnya, dalam sekejap Thera tiba di kota. Di depan jendela rumah itu, ia memegang jubah dalam dan luar, berdiri melayang di angkasa bagaikan arca permata. Ketika maha hartawan melihat Thera, jatungnya bergetar. “Karena takut pada orang seperti ini, maka saya datang ke tempat ini; namun kini orang ini datang dan berdiri di depan jendelaku,” katanya. Tanpa menyadari bahwa Thera akan mudah mendapatkan apa yang ia butuhkan, dengan dikuasai kemarahan, bagaikan air dan gula di lempar ke dalam api, hartawan berkata: “Bhikkhu, apa yang anda harapkan untuk didapat dengan melayang berdiri di angkasa? Anda dapat berjalan naik dan turun hingga anda menyebabkan sebuah jalan nampak di angkasa yang tak ada jalan, tetapi semua yang anda buat itu tidak ada manfaatnya.” Thera tetap berjalan ke sana ke mari.

Hartawan berkata: “Apa yang anda harapkan dengan berjalan ke sana ke mari? Anda dapat duduk bersila di angkasa, namun itu tidak ada gunanya?” Thera melipat kaki dan duduk bersila. Kemudian hartawan berkata kepadanya: “Apa yang anda harapkan dengan duduk bersila? Anda boleh datang dan berdiri di ambang jendela, tetapi tidak ada gunanya.” Lalu Thera mendekat dan berdiri di ambang jendela. Hartawan berkata kepada Thera: “Apa yang anda harapkan dengan berdiri di ambang jendela? Walaupun anda menyemburkan asap, dengan itu pun anda tidak akan mendapat apa-apa.”

Selanjutnya Thera mengeluarkan asap hingga di seluruh rumahnya diliputi oleh asap tebal. Hartawan merasakan matanya bagaikan ditusuk jarum-jarum. Ia sangat takut jangan-jangan rumahnya akan terbakar sehingga ia enggan mengatakan: “Anda dapat menyemburkan api, namun anda tidak akan mendapat apa-apa.” Ia berpikir: “Bhikkhu ini akan tetap di situ dan ia tidak akan pergi sebelum mendapat sesuatu. Saya akan memberikannya sebuah kue.” Lalu ia berkata kepada istrinya: “Istriku, buatkan sebuah kue kecil, berikan itu kepada bhikkhu, agar ia pergi.”

Istrinya mengambil secuil adonan dan menempatkannya pada belanga. Tetapi adonan itu berkembang menjadi kue besar yang mengisi seluruh permukaan belanga dan malahan meluap. Ketika hartawan melihatnya, ia berpikir: “Ia tentu mengambil adonan besar.” Maka ia sendiri mengambil adonan yang sangat kecil hanya seperti tetesan pada ujung sendok dan memasukkannya ke dalam belanga. Tetapi adonan itu menjadi lebih besar dari pada kue tadi. Begitu selanjutnya setiap kue yang mereka masak menjadi lebih besar dari yang semula. Akhirnya, dengan putus asa hartawan berkata kepada istrinya: “Istriku, berikan dia sebuah kue.”

Namun ketika istrinya berusaha mengambil sebuah kue dari keranjang, semua kue melengket menjadi satu. Istri hartawan berkata kepada suaminya: “Suamiku, semua kue saling melengket. Saya tidak dapat memisahkan kue-kue itu.” “Saya akan memisahkan kue-kue itu,” jawab hartawan. Tetapi walaupun ia berusaha sekuat tenaganya, ia tidak dapat memisahkannya. Akhirnya hartawan memegang ujung yang satu dan istrinya di ujung yang lain, lalu mereka menarik dengan sekuat tenaga mereka. Namun walaupun demikian mereka tidak dapat memisahkan kue-kue itu.

Sementara hartawan berusaha memisahkan kue-kuenya, keringat keluar dari tubuhnya, akibatnya keinginannya hilang. Karena itu ia berkata kepada istrinya: “Istriku, saya tidak membutuhkan kue-kue itu. Ambil kue-kue serta keranjang dan berikan kepada bhikkhu.” Istrinya mengambil keranjang dan meberikannya kepada bhikkhu. Thera mengajar dhamma kepada hartawan dan istrinya, membabarkan Tiratanaguna (kebajikan Tiratana). Yang dimulai dengan kata-kata: “ Atthi dinnam atthi yitthan’ti” (berdana adalah pengorbanan yang benar), beliau menyatakan pahala dari berdana dan kata-kata tentang kebajikan dengan jelas bagaikan bulan purnama.

Selagi hartawan mendengar uraian beliau, dalam batinnya muncul keyakinan, dan ia berkata: “Bhante, mendekatlah, duduk di sofa dan makanlah.” Thera menjawab: “Maha hartawan, Samma Sambuddha sedang duduk di vihara, mengharap untuk makan kue-kue ini. Maka, hartawan, bilamana anda tidak keberatan, ajak istrimu, bawa kue-kue, susu, dan yang lain-lain, kita pergi menemui Guru.” “Bhante, tetapi pada saat ini guru ada di mana?” “Hartawan, Beliau berada di Vihara Jetavana, kira-kira 45 yojana dari sini.” “Bhante, bagaimana kita pergi ke sana dengan menempuh jarak yang jauh tanpa menggunakan waktu yang banyak?”

“Hartawan, bila anada tidak kebertana, saya akan mengantar anda ke sana dengan kekuatan batinku. Bagian atas dari tangga rumahmu akan tetap ada di tempatnya, tetapi bagian bawah tangga akan berdiri di depan ambang gerbang Jetavana. Saya akan mengantar anda dalam waktu yang lebih singkat daripada waktu yang anda butuhkan untuk turun dari tingkat paling atas ke lantai bawah rumahmu.” “Baiklah, bhante.” Jawab hartawan, menyetujui kata-kata Thera. Demikianlah Thera membiarkan bagian atas dari tangga tetap pada tempatnya, dan menyatakan: “Bagian bawah tangga berdiri di ambang gerbang Jetavana.” Begitulah yang terjadi. Thera membawa hartawan bersama istrinya ke Jetavana lebih singkat waktunya daripada waktu yang dibutuhkan untuk turun lantai paling atas ke lantai bawah rumahnya.

Hartawan dan istrinya menemui Guru dan memberitahukan beliau bahwa sudah saatnya untuk makan. Selanjutnya bersama bhikkhu sangha, Guru masuk ke ruangan makan dan duduk di Pannattabuddhasana (Tempat duduk Buddha) yang telah disediakan. Maha hartawan memberikan Dakkhinodakam (Air pemberian) kepada bhikkhu sangha yang dikepalai Sang Buddha. Istri hartawan menempatkan sebuah kue pada patta Tathagata. Guru memakan sebanyak yang beliau butuhkan untuk menunjang kehidupannya, begitu pula yang dilakukan oleh bhikkhu sangha. Hartawan ke sana ke mari membagi susu, dadi susu, madu dan jaggery.

Setelah Guru serta 500 bhikkhu selesai makan, hartawan dan istrinya makan sebanyak mereka mau. Namun tetapi kuenya tidak habis. Demikian pula, walaupun kue-kue sudah dibagikan kepada seluruh bhikkhu di vihara dan kepada orang-orang yang kekurangan makanan, tetapi kue tidak pernah habis. “Bhante, kue tidak pernah berkurang,” lapor mereka kepada Bhagava. “Baiklah, lemparlah kue-kue itu ke ambang gerbang Jetavana,” jawab beliau. Maka mereka melempar kue-kue itu ke sebuah goa yang ada dekat ambang gerbang Jetavana. Hari ini tempat itu dinamakan Kapallapuvapabbharan (Goa-Kue).

Kemudian maha hartawan bersama istrinya mendekat kepada Sang Bhagava dan berdiri di samping dengan hormat. Sang Bhagava mengucapkan kata-kata anumodana. Di akhir kata-kata anumodana, hartawan dan istrinya mencapai Sotapattiphala. Lalu mereka menghormat Guru, menaiki tangga yang

ada di ambang gerbang, dan mereka mendapati mereka telah berada di rumah mereka sendiri. Sejak itu hartawan mendanakan uang sebanyak 80 laksa dari hartanya untuk Buddha sasana saja.

Pada malam esok harinya, ketika para bhikkhu berkumpul di Dhammasabhaya, mereka berkata: “Saudara-saudara sekalian, lihatlah kemampuan batin Maha Moggallana Thera! Tanpa mengurangi keyakinan, tanpa mengurangi kekayaan, dalam sesaat ia menundukkan hartawan kikir, menyebabkannya meninggalkan pemuasan nafsu, membawanya ke Jetavana, menyebabkan dia membawa kue-kue dengannya, mempertemukannya dengan Guru, dan menyebabkannya mencapai sotapattiphala. Betapa hebatnya kekuatan batin Thera!” Demikianlah mereka memuji kebajikan Thera, ketika duduk bersama di Dhammasabhaya. Dengan kemampuan batin mendengar (dibba sota) Guru mendengar apa yang mereka bicarakan, lalu pergi ke Dhammasala, lalu bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, apa pokok pembicaraan anda sekalian perbincangkan dengan duduk di sini?” Setelah mereka memberitahukan halnya. Beliau berkata: “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang meyakinkan seseorang tanpa mengurangi keyakinan, tanpa mengurangi kekayaan, tanpa melelahkan atau tanpa menekan orang tersebut, harus mendekati orang tersebut dengan memberitahukan kebajikan Sag Buddha bagaikan tawon yang hinggap pada bunga dan mengumpul madu darinya. Bhikkhu seperti itu adalah putraku Moggallana.” Untuk memuji Thera, beliau mengucapkan syair berikut ini:

45. “Bagaikan seekor tawon mengumpul madu dari bunga-bungaan tanpa merusak warna maupun baunya; demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.”

Setelah guru menyampaikan babaran dhamma ini, beliau melanjutkan uraian dhamma dengan tujuan untuk menyatakan kebajikan Thera, dengan berkata: “Para bhikkhu, ini bukan yang pertama kali Hartawan Kikir diyakinkan oleh Thera Moggallana. Pada kehidupan yang lampau pun ia telah meyakinkannya dengan menajarkannya tentang hubungan perbuatan dan hasil dari perbuatan itu.” Untuk mejelaskan persoalan itu, Beliau menguraikan Illisa Jataka:

Berdua adalah pincang, berdua memiliki kaki bengkok, berdua juling,

Berdua berkutil. Saya tak dapat mengatakan mana di antaranya adalah

Illisa.

6. PATHIKAJIVAKA VATTHU

(Petapa Telanjang Pathika)

“Jangan memperhatikan kesalahan ....” Uraian dhamma ini di sampaikan Guru sehubungan ketika beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan seorang petapa telanjang bernama Pathika.

Diceritakan bahwa di Savatthi, seorang ibu rumah tangga memenuhi kebutuhan seorang petapa telanjang bernama Pathika, ia melayani petapa ini bagaikan mengasuh anaknya sendiri. Para tetangganya yang pergi mendengar dhamma pada Guru kembali dengan memuji kebajikan para Buddha dalam berbagai cara, dengan berkata: “Betapa menariknya ajaran para Buddha!” Ketika ibu ini mendengar para tetangganya memuji seperti ini, ia ingin pergi ke vihara untuk mendengar dhamma. Ia memberitahukan hal ini kepada petapa telanjang dengan bekata: “Petapa yang terhormat, saya ingin pergi mendengar dhamma Sang Buddha.” Namun, walaupun berulang-ulang uia mengatakan hal ini, petapa membujuknya untuk tidak pergi, dengan berkata: “Jangan pergi.” Ibu ini berpikir: “Karena petapa ini tidak menyetujui saya lergi ke vihara untuk mendengar dhamma, saya akan mengundang Guru ke rumah ku dan mendengar beliau membabarkan dhamma di sini.

Selanjutnya, di malam hari, ia menyuruh putranya untuk menemui Guru dengan berkata kepadanya: “Pergi dan undang Guru untuk menerima pelayananku besok.” Abak ini pergi tetapi terlebih dahulu ia pergi ke tempat tinggal petapa telanjang, menghormat beliau dan duduk. “Mau ke mana, nak?” tanya peta telanjang. “Ibuku menyruh saya untuk pergi mengundang Guru.” “Jangan pergi kepadanya.” “Baiklah, namun saya takut pada ibuku. Saya akan pergi.” “Sebaiknya kita berdua makan makanan enak yang disediakan untuknya. Tidak usah pergi.” “Tidak, ibuku akan memarahiku.” “Baiklah, kau pergi. Tetapi ketika kau pergi mengundang Guru, jangan katakan kepadanya, ‘Rumahmu berlokasi di daerah anu, di jalan anu, dan Guru dapat mencapainya melalui jalan ini dan itu.’ Sebaliknya bersikaplah seolah-olah kau tinggal di sekitar situ saja, dan pada waktu pulang, berlakulah seperti kau menuju jalan lain dan kembali menemuiku.”

Anak Ini mendengar apa yang dikatakan petapa telanjang dan sesudah itu ia pergi menemui Guru dan menyampaikan undangan. Setelah ia melaksanakan semua yang dipesankan oleh petapa telanjanh, ia pulang dan menemui petapa. Petapa telanjang berkata: “Apa yang telah kau lakukan?” Anak menjawab: “Segala sesuatu yang petapa katakan padaku, petapa yang mulia.” “Kau telah melakukannya dengan baik. Kita berdua akan makan makanan enak yang disediakan untuknya.” Pada keesokan harinya, di pagi hari, petapa telanjang pergi ke rumah itu, mengajak anak itu dan mereka berdua duduk bersama di balik ruangan tamu.

Para tetangga melabur rumah dengan tahi sapi, menghiasnya dengan berbagai bunga, termasuk bunga Laja, menyediakan tempat duduk yang mahal, tempat untuk Guru

duduk. (Orang-orang yang tidak mengenal para Buddha, tidak mengetahui bila perlu menyediakan tempat duduk bagi para Buddha. Begitu pula Para Buddha tidak akan menyuruh mereka untuk menyediakannya. Pada hari pencapaian Bodhi, ketika mereka duduk di bawah pohon Bodhi, yang menyebabkan 10.000 sistim dunia (cakkavala) bergetar, dan semua jalan menjadi jelas bagi mereka: “Ini jalan ke neraka, ini jalan ke alam binatang, ini jalan ke alam Peta, ini alan ke Tanpa kematian, Maha Nibbana.” Tidak perlu mengatakan kepada mereka jalan pergi ke desa, ke kota atau tempat-tempat lain.)

Demikianlah di pagi hari, Guru mengambil patta dan jubah, dan segera pergi ke rumah ibu itu. Ibu ke luar dario rumah, memberi hormat bernamaskara kepada Guru, mendampingi beliau masuk ke dalam rumah, memberikan Air Dana ke tangan kanan Guru, dan memberi makanan terpilih yang lebut dan keras kepada beliau. Ketika Guru selesai makan, ibu ini menginginkan beliau menyampaikan ucapan anumodana, maka ia mengambil patta beliau. Kemudian Guru dengan suaranya yang merdu mulai menyampaikan anumodana dalam bentuk uraian dhamma. Ibu mendngar uraian dhamma dan memuji Guru, dengan berkata: “Uraian yang menakjubkan. Uraian yang menakjubkan.”

Petapa telanjang yang duduk di balik ruangan tamu mendengar kata-kata pujian dari ibu setelah ia mendengar dhamma dati Guru. Karena tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, ia berkata: “Ia bukan muridku lagi,” dan keluar. Lalu ia berkata kepad ibu itu: “Konyol, anda tidak perlu memuji orang ini seperti itu.” Lalu ia mengejek ibu itu dan Guru dengan berbagai macam kata-kta,

setelah itu ia pergi dengn berlari. Ibu itu sangat malu karena cercaan petapa itu sehingga pikirannya menjadi kacau, akibatnya ia tiak dapat memperhatikan apa yang diuraikan guru. Guru bertanya kepada ibu itu: “Ibu, Bhante,” jawabnya, “pikiranku kacau oleh cercaan petapa telanjang itu.” Guru berkata: “Sesorang tidak perlu memperdulikan kata-kata orang yang berpandangan keliru seperti itu; orang tak perlu memperhatikan orang seperti dia; seseorang sebaiknya hanya memperhatikan perguatan buruknya atau perbuatan baiknya sendiri.” Setelah berkata begitu, beliau mengucapkan syair berikut:

46. “Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah dikerjakan atau yang belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikan apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.”

7. CHATAPANIUPASAKASSA-VATTHU

Bagaikan sekuntum bunga yang indah ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi, berkenaan dengan upasaka Chattapani.

Di Savatthi ada seorang upasaka bernama Chattapani yang menguasai Tipitaka dan telah mencapai tingkat kesucian Sakadagami. Pada suatu pagi, ia melaksanakan uposatha , ia pergi menemui dan memberi hormat kepada Guru.

(Bagi para Sakadagami dan Ariya Puggala dan berdasarkan pada usaha yang lampau, mereka tidak menyatakan kewajiban melaksanakan uposatha sila (dengan memohon uposatha sila). Mereka dengan kebajikan pencapaian ariya puggala, melaksanakan uposatha dan hanya makan sekali sehari. Itulah sebabnya Sang Bhagava berkata: “Maharaja, Ghatikara tukang pembuat tembikar hanya makan sehari dan melaksanakan uposatha sila, perukan kebajikan dan benar” (M.N. ii.51). Demikianlah sebagai suatui proses bagi para Sakadagami hanya makan sekali dan melaksanakan uposatha sila).

Begitu pula dengan Chattapani, melaksanakan uposatha sila, menemui Guru dan memberikan hormat kepadanya, lalu duduk di tempat yang tersedia dan mendengar Dhamma. Pada waktu itu Raja Pasenadi Kosala juga datang memberi hormat kepada Guru. Ketika Chattapani melihat ia datang, ia berpikir: “Apakah saya harus berdiri untuk menemuinya atau tidak? Bilamana saya berdiri, maka raja mendapat kehormatan tetapi Guru tidak. Maka saya tidak akan berdiri.” Ia menyimpulkan: “Karena saya duduk di depan Raja dari segala Raja, saya tidak perlu berdiri untuk menemui raja sebagai penghormatan. Walaupun ia marah saya tidak akan berdiri. Karena bilamana melihat raja lalu saya berdiri, maka raja yang mendapat penghormatan, sedangkan Guru tidak. Maka saya tidak akan berdiri.” (Orang bijaksana tidak akan pernah marahbilamana melihat seseorang tidak berdiri, karena orang itu berada di depan orang yang lebih tinggi kedudukannya).

Ketika Raja Paenadi melihat Chattapani tidak berdiri, hatinya diliputi kemarahan. Namun ia tetap memberikan hormat kepada Guru dan duduk di

tempat yang telah tersedia. Guru menyadari bahwa ia sedang marah, lalu berkata kepadanya: “Maharaja, upasaka Chattapani adalahorang bijaksana, mengetahui Dhamma, menguasai Tipitaka, ia menerima dengan wajar penderitaan dan kesenangan.” Beitulah Guru menerangkan kebaikan upasaka. Sementara raja mendengar keadaan uopasaka, hatinya menjadi lunak.

Pada suatu hari setelah sarapan, raja sedang berdiri di lantai atas istananya, ia melihat upasaka Chattapani sedang berjalan di halaman istana dengan payung di tangan dan mengenaka sendal di kaki. Segera ia menyuruh seseorang untuk memanggil Chattapani agar ia menemuinya. Chattapani meletakkan payung dan sandalnya ke samp[ing, menemui raja, memberi hormat kepadanya, dan berdiri dengan hormat di samping. Raja berkata kepada Chattapani: “Saudara, mengapa anda meletakkan sandal dan payung di samping?” “Ketika saya mendengar: ‘Raja memanggil anda,’ saya segera meletakkan payung dan sandal saya dan datang menemui raja.’ “ “Jelaslah, hari ini anda telah nenyadari bahwa saya adalah raja.” “Saya selalu menyadari bahwa tuanku adalah raja.” “Jikalau hal itu benar, mengapa pada hari yang lalu, ketika anda duduk di depan Guru dan anda telah melihat saya, anda tidak berdiri?”

“Maharaja, ketika itu saya duduk di depan raja dari segala raja, bilamana setelah saya melihat raja yang hanya berkuasa di satu kerajaan lalu saya berdiri, maka saya menunjukkan sikap tidak menghormat kepada Guru. Itulah sebabnya saya tyidak berdiri.” “Baiklah, apa yang telah lewat telah berlalu. Saya mendapat inform,asi bahwa anda mengetahui dengan baik hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan pada pada sekarang ini dan kehidupan yang akan datang; juga anda menguasai Tipitaka. Ungkapkan dhamma di tempat tinggal para wanita kami.” “Saya tidak dapat melakukannya, Maharaja.” “Mengapa tidak.” “Istana raja seharusnya sangat ketat dengan penjagaan.” “Pantas dan tidak pantas adalah hal-hal yang sangat penting dalam hal ini, Maharaja.” “”Jangan berkata begitu. Pada hari yang lalu, ketika anda melihat saya, anda bersikap pantas untuk tidak berdiri. Jangan menghina menambah luka.” “Maharaja, adalah tidak tepat bagi seorang awan melaksanakan tugas para bhikkhu. Undanglah seorang bhikkhu dan mintalh dia membabarkan Dhamma.”

Raja mengizinkan dia pergi dengan berkata: “Baiklah, anda dapat pergi.” Setelah melakukan hal itu, raja mengirimkan utusan kepada Guru dengan

permohonan sebagai berikut: “Bhante, permaisuriku Mallika dan Vasabhakhattiya mengatakan bahwa ‘Kami ingin mendengar dhamma dari Guru.’ Untuk itu mohon secara tetap Guru datang bersama 500 bhikkhu dan membabarkan Dhamma.” Guru mengirimkan jawaban sebagai berikut: “Maharaja, tidak mungkin seorang Buddha untuk datang secara tetap di satu tempat.” “Bhante, bilamana demikian kirimkanlah beberapa bhikkhu.” Guru menunjuk Ananda Thera untuk melaksanakan tugas itu. Thera selalu datang secara tetap dan mengajarkan dhammakepada para pemaisuri. Dari kedua permaisuru, Mallika belajar dengan baik, melatih diri dengan baik, dan meperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya. Sedangkan Vasabhakhattiya tidak belajar dengan baik, tidak melatih diri dengan baik, dan tidak memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya.

Pada suatu hari Guru bertanya kepada Ananda Thera: “Ananda, apakah para upasika, siswi anda, telah menguasai dhamma?” “Ya, Bhante.” “Siapa yang telah belajar dengan baik?” “Bhante, Mallika belajar dengan baik, melatih diri dengan baik, dan memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya. Sedangkan kerabat Guru tidak belajar dengan baik, tidak melatih diri dengan baik, dan tidak memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya.” Ketika Guru telah mendengar jawaban Thera, beliau berkata: “Ananda, sehubungan dhamma yang telah saya babarkan, bagi seseorang yang tidak dengan baik mendengar, belajar dan melatih diri serta memperhatikan Dhamma yang dibabarkan, maka hal itu tak berguna, bagaikan bunga yang memiliki warna namun tidak harum. Tetapi bagi seseorang yang dengan baik mendengar belajar dan melatih serta memperhatikan Dhamma yang dibabarkan, akan mendapat pahala yang berlimpah dan berbagai macam berkah.” Setelah berkata demikian, beliau menyatakan syair yang berikut:

47. “Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.”

48. “Bagaikan sekuntum bunga yang indah dan berbau harum

demikian pula akan bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.”

Pada akhir dari uaraian dhamma, banyak orang menjadi Sotapanna, Sakadagami dan Anagami. Uraian dhamma ini sangat bermanfaat bagi banyak orang.

7. VISAKKHAYA-VATTHU

(Perkawinan Visakha)

“Dari kumpulan bunga dapat dirangkai banyak ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Pubbarama dekat kota Savatthi berkenaan dengan upasika Visakha.

Disebutkan bahwa Visakha lahir di kota Bhaddiya dalam kerajaan Anga. Ayahnya adalah hartawan Dhananjaya, putra dari hartawan Mendako, ibunya adalah Sumana Devi yang merupakan istri utama. Ketika Visakha berusia 7 tahun, Guru mengetahui bahwa Brahmana Sela dan kerabatnya yang lain telah memiliki keyakinan yang merupakan faktor untuk mencapai Sotapanna, maka beliau berangkat bersama sejumlah besar bhikkhu dan tiba di kota itu. Pada waktu itu hartawan Mendako menjabat sebagai bendahara kota, ia salah satu dari 5 orang yang memiliki jasa (pahala) besar (mahapunna).

(Lima orang yang memiliki mahapunna adalah Hartawan Mendako, Candapaduma, istrinya; putra sulungnya Dhananjaya dan istrinya Samanadevi, dan budak hartawan Mendako yang bernama Punna. Pada masa itu Hartawan Mendako memiliki harta yang tak terhitung, tetapi bukan hanya dia seorang yang memiliki harta tak terhitung. Di kerajaan yang dikuasai oleh Raja Bimbisara ada lima orang yang sangat kaya, yaitu: Jotiyo, Jatilo, Mendako, Punnako dan Kakavaliyo).

Hartawan Mendako mengetahui bahwa Pemilik Dasabala telah datang di kota, maka ia menyuruh (cucunya) Visakha, putri hartawan Dhananjaya, dengan berkata: “Cucuku, ini adalah hari yang berbahagia untukku dan untukmu. Ajak 500 gadis pendampingmu dayang-dayang), naik 500 kereta, dan bersama 500 budak wanitamu, pergi temui pemilik Dasabala.” “Baiklah,” jawab Visakha mengiakan.

Inilah yang ia lakukan. Karena ia telah mengetahui dengan baik apa yang masuk akal dan yang tidak masuk akal, maka ia pergi dengan berkereta sejauh yang dapat dilalui kereta; lalu ia turun dari keretanya dan berjalan menemui Guru, memberikan hormat kepada Guru dan berdiri di samping. Senang

Melihat prilakunya, Guru menguraikan Dhamma kepadanya, dan pada akhir dari uraian dhamma Visakha bersama 500 gadis dayang-dayang menjadi Sotapanna.

Hartawan Mendako juga menemui Guru, mendengar dhamma dan menjadi Sotapanna. Karena itu, Hartawan mendako mengundang Guru sebagai tamunya besok. Demikianlah pada keesokkannya di rumahnya ia melayani dengan baik Bhikkhu Sangha yang dikepalai Sang Buddha, memberikan pada mereka makanan terpilih, yang keras dan lembut, begitu pula ia melakukan hal yang sama pada hari uposatha dengan memberikan berbagai macam makanan. Setelah Guru berada di kota Bhaddiya selama waktu yang dibutuhkan, beliau pergi.

Pada waktu itu Raja Bimbisara dan Raja Pasenadi Kosala bermerabat karena hubungan perkawinan, masing-masing mengawini saudara perempuan satu dengan yang lain. Pada suatu hari Raja Kosala berpikir: “Dalam kerajaan (Magadha) Bimbisara ada lima orang yang memiliki kekayaan tak terhitung banyaknya, namun dalam kerajaanku tidak ada seorang pun seperti mereka. Sebaiknya saya mengunjungi Bimbisara dan meminta salah seorang dari para hartawan itu.” Selanjutnya ia pergi menemui Raja bimbisara, yang menyambutnya dengan sikap bersahabat dan bertanya kepadanya: “Apa maksud kedatangan anda?” “Saya datang ke mari dengan pikiran, ‘Dalam kerajaanmu ada 5 hartawan yang memiliki kekayaan tak terhitung banyaknya dan ada lima orang yang memiliki mahapunna. Saya menginginkan satu orang dari mereka pulang bersama saya.’” “Mereka ini adalah keluarga yang penting, tidak mungkin memindahkan mereka.” “Saya tidak akan kembali tanpa satu keluarga itu.”

Raja mengadalkan konsultasi dengan para menterinya dan menjawab: “Memindahkan para keluarga pentying seperti Jotiyo bagaikan memindahkan bumi itu sendiri. Tetapi ada seorang hartawan bernama Dhananjaya, putra hartawan Mendako. Saya akab berbicara dengan dia dan akan memberikan jawabanku nanti.” Selanjutnya Raja Bimbisara menyuruh seseorang untuk memanggil hartawan Dhananjaya menghadapnya, dan berkata: “Kawanku, Raja Kosala telah berkata padaku, ‘Saya ingin seorang hartawan yang memiliki

kekayaan besar kembali dengan saya.’” Anda pergilah dengan dia.” “Maharaja, jika raja menyuruh saya, saya akan pergi.” “Baiklah sahabatku, bersiaplah dan pergi.”

Demikianlah maka hartawan Dhananjaya menyiapkan persiapan yang diperlukan, dan raja menganugerahkannya kehormatan kepadanya dan mempersilahkan Raja Pasenadi berangkat, dengan berkata: “Bawalah dia bersamamu.” Maka Raja Pasenadi mengajaknya pergi dan berangkat ke Savatthi, dengan berhenti semalam dalam perjalanan. Dalam perjalan, mereka tiba di sebuah tempat yang menyenangkan, mereka mendirikan kemah untuk bermalam. Hartawan Dhananjaya bertanya kepada raja: “Termasuk kerajaan siapa daerah ini?” “Hartawan, ini termasuk kerajaan saya.” “Berapa jauh dari sini ke Savatthi?” “Tujuh yojana.” “Di dalam kota sangat padat, sedangkan para pengikut saya sangat banyak. Bilamana Maharaja menyetujui, saya akan tinggal di tempat ini.” “Baiklah,” jawab raja , mengabulkan permintaannya. Selanjutnya raja membuat kota untuk hartawan Dhananjaya di tempat itu dan memberikan kepadanya, dan setelah melakukan hal itu, raja berangkat. Karena daerah ini mulai didiami pada waktu sore (sayam) maka kota ini dinamakan Saketa.

Pada masa itu di Savatthi ada seorang hartawan bernama Migara, ia mempunyai seorang putra bernama Punnavaddhana, yang baru mencapai kedewasaan. Ayah dan ibunya berkata kepadanya: “Anak sayang, pilihlah seorang istri untukmu dari mana saja yang ananda sukai.” “Saya tidak membutuhkan hal seperti itu.” “Nak, jangan bersikap seperti itu. Sebuah keluarga tanpa anak tidak akan bertahan.” Setelah mereka mengatakan hal itu beberapa kali. Ia berkata: “Baiklah. Jika saya mendapatkan seorang gadis yang memiliki Lima Kecantikan, saya akan melakukan seperti ayah dan ibu katakan.” “Tetapi apakah kelima kecantikan ini, ‘nak.” “Kecantikan rambut, kecantikan daging, kecantikan tulang, kecantikan kulit, dan kecantikan keremajaan.”

(Bagi wanita yang memiliki mahapunna memiliki rambut seperti ekor merak, bilamana rambut itu dilepas bebas, rambut itu akan menyentuh depun (hem) roknya, dan ujung rambut melengkung ke atas. Inilah Kecantikan Rambut. Bibirnya berwarna seperti merah cerah labu, bibir atas dan bawah sama dan lebut bila disentuh. Inilah Kecantikan Daging. Giginya putih, rata, tanpa celah

dan bercahaya bagaikan untaian mutiara yang dijajarkan atau seperti kulit kerang yang dipotong dengan rapi. Inilah Kecantikan Tulang. Kulitnya tanpa menggunakan cendana, pemerah (pipi, kulit), atau kosmetik lainnya, adalah licin bagaikan bunga teratai dan putih bagaikan untaian bunga kanikara. Inilah Kecantikan Kulit. Walaupun ia melahirkan 10 kali, penampilan keremajaan tubuhnya bagaikan ia baru melahirkan sekali. Inilah Kecantikan Keremajaan)

Untuk itu ibu dan ayah Punnavaddhana mengundang 108 Brahmana kerumah mereka, melayani m,ereka makan malam, kemudian bertanya pada mereka: “Apakah ada wanita yang memiliki Lima Kecantikan?” “Ya, ada.” “Baiklah, delapan orang dari anda sekalian pergi cari gadis seperti itu,” kata mereka dan memberikan banyak uang kepada 8 Brahmana itu. “Ketika anda sekalian kembali, kami tahu apa yang harus kami lakukan. Carilah gadis itu, dan bilamana telah ditemukan, dandani dia dengan untaian bunga (lei) ini.” Setelah berkata demikian mereka memberikan kepada para Brahmana seuntai bunga emas yang berharga 100.000 kahapana (keping emas, kalau sekarang uang koin emas)) dan menyuruh mereka pergi. Para Brahmana pergi ke semua kota besar dan mencari dengan rajin, namun mereka tidak menemukan seorang gadis yang memiliki Lima Kecantikan, maka mereka berbalik pulang. Ketika mereka tiba di kota Saketa, pada Hari Libur Umum (Vivatanakkhattadivase) dan mereka berpikir: “Hari ini tugas kita akan mencapai puncak kesuksesan.”

Pada masa itu di kota ada festival yang dirayakan setiap tahun pada Hari Libur Umum, pada hari ini para keluarga yang biasanya tidak keluar mereka keluar rumah bersama para pembantu mereka yang tidak mengenakan baju (atas), berjalan-jalan di tepi sungai. Lagi pula, para putra orang-orang kaya atau ksatriya berdiri di sepanjang jalan, dan bilamana mereka melihat seorang gadis cantik yang sepadan dengan mereka, mereka melemparkan kutuman bunga ke kepala gadis itu.

Para Brahmana juga pergi ke tepi sungai, memasuki gedung tertentu dan menunggu. Pada saat itu Visakha , yang pada waktu itu telah berusia 15 atau 16 tahun, merias dirinya dengan semua perhiasannya, disertai 500 dayangnya, datang ke tepi sungai dengan maksud untuk mandi. Tiba-tiba terjadi angin badai dan mulai hujan. Akibatnya 500 dayangnya lari secepat mungkin dan masuk dalam gedung. Namun walaupun hujan, Visakha berjalan seperti biasa saja. Ketika ia masuk ke dalam gedung, pakaian dan perhiasannya basah.

Para Brahmana melihat bahwa Visakha memiliki empat Kecantikan. Karena ingin melihat giginya, mereka mulai bercakap-cakap dengan berkata: “Putri kita memiliki sifat malas. Suaminya tidak akan mendapat nasi asam yang cukup untuk dimakan, atau apakah kita yang salah!” Kemudian Visakha berkata kepada para Brahmana: “Apa yang anda katakan?” “Kami sedang membicarakan tentan kamu, gadis manis.” (Mereka mengatakan bahwa suara Visakha lembut dan resonansinya bagaikan alunan lonceng). Selanjutnya dengan suaranya lembutnya, suara beresonansi, ia bertanya lagi kepada mereka: “Apakah yang anda sekalian bicarakan?”

“Kami membicarakan bahwa sementara para gardis dayangmu berlari secepat mungkin dan masuk ke dalam gedung agar pakaian dan perhiasan mereka tidak basah, anda sama sekali tidak mempercepat langkahmu, walaupun sesungguhnya jaraknya hanya pendek, dan akibatnya ketika masuk ke dalam gedung pakaian dan perhiasanmu basah.” “Kawan-kawan, jangan berkata begitu. Saya lebih kuat daripada mereka. Lagi pula saya punya alasan kuat untuk tidak mempercepat langkahku.” “Apa alasannya, nak?”

“Kawan-kawan, ada 4 pribadi yang nampaknya tidak menguntungkan bila berlari; dan ada alasan lain pula.” “Gadis manis, empat pribadi bagaimana yang tidak menguntungkan bila berlari?” “Kawan-kawan, seorang yang telah dinotbatkan jadi raja tidak menguntungkan bila ia didandani dengan semua permata, ia mengangkat baju bawahnya dan berlari-lari di istana. Dengan melakukan hal itu ia akan mendapat kritikan yang tidak menyenangkan, dan orang-orang akan berkata: “Mengapa Maharaja berlari-lari bagaikan orang biasa?”

“Begitu pula gajah kerajaan milik raja, bilamana telah dididandani dengan pakaian berhiasan, nampaknya tidak akan menguntungkan bila berlari; namun blaman gajah itu melangkah dengan keangunan gajah, maka akan nampak menguntungkan. Seorang bhikkhu tidak akan nampak menguntungkan bila berlari. Dengan berbuat seperti itu ia akan mendapat kritikan yang tidak menyenangkan, dan orang-orang akan berkata tentang dia: ‘Mengapa bhikkhu ini berlari-lari seperti umat awam?’ Namun apabila ia berjalan dengan tenang, nampaknya akan menguntungkan baginya. Seorang wanita nampaknya tidak menguntungkan baginya apabila ia berlari. Ia akan mendapat kritikan yang

tidak menyenangkan karena melakukanya. Orang-orang akan berkata kepadanya: ‘Mengapa wanita ini berlari-lari seperti laki-laki?’ Inilah empat pribadi yang nampaknya tidak menguntungkan bila berlari.”

“Tetapi apa alasan lainnya, gadis manis?” “Kawan-kawan, para ibu dan ayah membesarkan seorang anak perempuan dengan pikiran untuk menjaga anggota-anggota badan maupun bagian tubuh lainnya tidak terluka. Karena kami bagaikan barang yang akan dijual, maka mereka membesarkan kami dengan maksud mengawinkan kami kepada keluarga lain. Akibatnya, bilamana kami berlari dapat menyebabkan kan pakaian kami robek atau tersandung pada tanah sehingga kami jatuh dan mematahkan tangan atau kaki, kami mnjadi beban keluarga kami. Tetsapi bilamana hanya pakaian yang kami kenakan menjadi basah, itu akan kering nanti. Dengan mempertimbangkan hal ini, maka saya tidak berlari, kawan-kawan.”

Sementara Visakha berbicara, para Brahmana memperhatikan keindahan giginya. “Gigi yang indah seperti ini belum pernah kami lihat,” kata mereka. Dengan bertepuk tangan memujinya, mereka berkata: “Gadis manis, hanya anda yang pantas menerima ini.” Setelah berkata begitu, mereka melempar untai bunga emas ke kepala Visakha. Lalu Visakha bertanya kepada mereka: “Kawan-kawan, dari kota mana anda sekalian datang?” “Kami dari Savatthi, gadis manis.” “Siapakah hartawan anda wakili?” “Hartawan yang bernama migara, gadis manis.” “Apakah nama putranya yang terhormat?” “Punnavaddhana Kumara, gadis manis.” “Keluarga yang sepadan dengan keluarga kami,” pikir Visakha.

Demikianlah ia menerima usulan dan segera ia mengirmberita kepad ayahnya: “Mohon kirimkan kereta.” Walaupun ia datng ke situ dengan berjalan, namun sejak saat untaian bungan dilemparkan ke kepalanya, maka tidak pantas lagi bagi dia untuk berjalan kaki. Putri orang-orang terhormat bepergian dengan kereta atau dengan sejenisnya, walaupun yang lain menaiki kereta biasa, mengunakan payung atau daun palem untuk melindungi kepala; namun bilamana barang-barang ini tidak dipunyai, maka dengan mengangkat baju bawah dan menempatkannya di bahu.

Sementara itu ayah Visakha telah mengirim 500 kereta, ia menaiki keretanya, berangkat bersama dayang-dayangnya, sedsangkan para Brahmana mengikutinya. Hartawan bertanya kepada para Brahmana: “Dari mana anda

sekalian datang?” “Dari Savatthi, maha hartawan.” “Siapakah nama hartawan-nya?” “Hartawannya bernama Migara.” “Apakah nama puranya.” “Punnavaddhana Kumara.” “Berapa banyak kekayaannya.” “Empat puluh koti.” “Sehubungan dengan kekayaannya sangat jauh dibandingkan dengan kami; namun sejak seseseorang mendapatkan pelindung untuk putrinya, mengapa mempersoalkannya?” Setelah berkata begitu, hartawan memberikan persetujuannya. Setelah ia menyenangkan mereka selama dua hari di rumahnya, dengan memberikan semua perhatian yang perlu bagi mereka, ia mempersilahkan mereka untuk pulang.

Para Brahmana pulang ke Savatthi dan melaporkan kepada hartawan Migara: “Kami telah menemukan seorang gadis.” “Putri siapa dia?” “Putri Hartawan Dhananjaya.” Hartawan Migara berpikir: “Saya telah mendapat putri dari keluarga terhormat, sebaiknya saya membawanya kemari secepat mungkin.” Maka ia melaporkan kepada raja bahwa ia akan pergi kesana. Raja berpikir: “Itulah keluarga istimewa yang saya ambil dari Raja Bimbisara dan tinggal di Saketa. Saya akan memperlihatkan padanya segala perhatian.” Maka ia berkata: “Saya akan pergi juga.” “Baiklah, raja,” jawan Hartawan Migara. Sehubungan dengan hal itu, Hartwan Migara mengirim berita kepada Hartawan Dhananjaya: “Bilamana saya datang, raja akan bersama saya, dan pasukan raja sangat besar. Apakah anda akan mampu melayani kelompok orang yang besar atau tidak.” Hartawan Dhananjaya menjawab sebagai berikut: “Bilamana ada sepuluh orang raja akan datang, silahkan mereka datang!”

Selanjutnya Hartawan Migara semua penduduk dari kotanya kecuali sejumlah orang yang perlu menjaga rumah-rumah, berangkat dan berhenti pada jarak setengah yojana dari Saketa, lau mengirimberita kepada Hartawan Dhananjaya: “Kami telah tiba.” Untuk itu Hartawan Dhananjaya mengirim sebuah hadiah yang bagus kepada Hartawan Migara, dan ia berkonsultasi dengan puyrinya: “Putriku sayang, saya diberitahu bahwa ayah mertuamu telah tiba, Raja Kosala bersamanya.” “Bangunan apa yang kita siapkan untuk dia, dan mana untuk raja, dan mana untuk para pesertanya?” (Putri hartawan memiliki kebijaksanaan, dan pikirannya sangat tajam bagaikan ujung berlian, ini sebagai hasil dari Tekad yang ia telah lakukan dan Keinginan Teguh yang telah ia munculkan selama 100.000 kappa).

Maka Visakha menyiapkan persiapan-persiapan, dengan berkata:

“Siapkan bangunan ini dan itu untuk ayah mertuaku, ini dan itu untuk raja, dan bangunan ini dan itu untuk para pesertanya.” Ia menyuruh para budak dan pembantu berkumpul dan ia membagi mereka dalam kelompok untuk melaksanakan berberapa tugas dengan berkata: “Sejumlah orang sesuai kelompok melayani mertua, raja dan para peserta; juga sekelompok besar untuk melayani gajah-gajah, kuda-kuda, binatang-binatang lainnya serta hal-hal ber-hubungan dengan tugas-tugas itu. Sehingga bilamana tamu kita tiba, mereka menikmati dengan seksama acara pesta ini. (Mengapa Visakha melakukan hal ini? Karena dengan begini, tidak ada yang akan berkata: “Kami datang untuk mengikuti acara pesta perkawinan Visakha, namun kami tidak menikmatinya; sebaliknya kami hanya menghabiskan waktu mengurus binatang-binatang dan hal lain-lain saja.”)

Pada hari itu juga, ayah Visakha memanggil 500 orang tukang emas, dan berkata kepada mereka: “Buatkan sebuah ‘mantel besar penuh hiasan permata’ (mahalatapasadhanam = baju atau gaun kawin dalam bentuk mantel penuh bertaburan perhiasan).” Setelah berkata begitu, ia memberi seribu nikkha emas merah, sejumlah perak, batu delima, mutiara, batu-batu permata, dan intan.

Setelah raja berada di sana beberapa hari, ia mengirm berita kepada Hartawan Dhananjaya: “Hartawan tidak harus berpikir untuk menyiapkan semua kebutuhan bagi kami untuk waktu yang lama. Beritahukan kepada kami bilamana putrinya telah siap untuk berangkat.” Hartawan membalas dengan menjawab kepada raja sebagai berikut: “Musim hujan telah tiba, maka tidak mungkin bagi raja untuk bergerak selama 4 bulan. Apapun yang dibutuhkan oleh pasukan raja, semuanya merupakan tugas saya untuk menyiapkannya. Raja sebaiknya berangkat bilamana saya telah siap.” Pada waktu itu bagaikan hari libur panjang di kota Saketa. Dari raja hingga rakyat jelata, semua berdanan bebungaan, wangi-wangian serta pakain bagus, dan masing-masing berpikir: “Raja hanya memberikan perhatiannya kepada saya.” Tiga bulan telah berlalu dalam keadaan seperti itu, namun mantel belum selesai.

Kepala kelompok tugas kerja menemui dan melapor kepada hartawan: Tidak ada yang kurang selain kayu bakar untuk memasak makanan bagi pasukan.” “Kawan-kawan, pergi bongkar semua kandang gajah yang rusak dan semua rumah di kota ini yang telah lapuk, gunakan kayu-kayunya untuk masak.” Mereka memasak makanan menggunakan kayu bakar selama 2

minggu, lalu kembali dan melapor: “Tidak ada lagi kayu bakar.” “Pada waktu di masa seperti ini adalah tidak mungkin untuk mendapat kayu bakar, maka bukalah gunang tempat menyimpan kain-kain, ambillah kain-kain kasar, buatlah itu sebagai sumbuh, rendamlah sumbuh-sumbuh itu dalam bejana minyak dan masaklah makanan.” Mereka melakukannya untuk 2 minggu.

Demikianlah 4 bulan telah berlalu, mantel telah selesai. Dalam pembuatan mantel, sebanyak 2,2024 liter berlian yang digunakan, 6,0566 liter mutiara, 12,1132 liter batu-batu permata, 18, 1698 liter batu delima; dengan permata-permata ini dan permata-permata lainnya untuk menyelesaikan mantel. Benang biasa tidak digunakan untuk membuat mantel ini; penggunaan benang semuanya diganti dengan perak. Mantel itu di perketat di kepala dan agak lebar di bagian kaki. Di berbagai bagaian ada lak emas yang diperkuat oleh perak agar tidak lepas dari tempatnya. Ada lak besar pada mahkota di kepala, satu lak di atas setiap telinga, satu di leher (depan), satu pada setiap lutut, satu pada setiap siku, satu di pinggang dan satu yang agak kecil di punggung.

Dalam pembuatan mantel ini para tukang emas membuatnya seperti seekor burung Merak; pada bagian sayap kanan terdapat 500 bulu yang terbuat dari emas merah, begitu pula dengan sayap kiri. Paruhnya terbuat dari batu coral, matanya adalah batu permata, begitu pula dengan bagian leher dan bulu-bulu ekornya; tangkai bulu terbuat dari batu-batu permata, dan begitu pula bagian kaki-kakinya. Ketika mantel itu dikenakan oleh Visakha, mantel itu nampaknya bagaikan burung merak berdiri di atas gunung dan sedang menari; suara dari tangkai bulu dari seribu bulu bagaikan musik koor surgawi atau bunyi lima macam alat musik. Hanya bilamana seseorang datang mendekatnya, maka orang itu menyadari bahwa itu bukan burung merak. Material yang digunakan untuk membuat mantel ini seharga 9 koti kahapana (1 koti = 10.000.000), dan 100.000 kahapana sebagai biaya pembuatannya.

(Berdasarkan perbuatan apa yang ia lakukan pada kehidupan lampau sehingga Visakha menerima mantel ini? Di informasikan bahwa pada masa kehidupan Buddha Kassapa, ia mendanakan patta (mangkok makan) dan civara (jubah) kepada 20.000 bhikkhu, juga memberikan benang, jarum, bahan pewarn, yang semuanya miliknya. Berdasarkan pada pemberian civara itulah maka ia mendapat mantel ini. Pemberian civara bagi wanita hasil puncaknya adalah

dalam bentuk mantel. Sedangkan dana patta dan civara oleh pria hasil puncak-nya adalah menerima patta dan civara secara supernatural.)

Selama empat bulan berlangsung ketika maha hartawan sedang menyiapkan matel (gaun pengantin) untuk putrinya, ia mulai memberikan mahar perkawinan (maskawin) kepada Visakha. Ia memberikan kepadanya 500 gerobak penuh dengan uang, 500 gerobak penuh dengan bejana emas, 500 gerobak penuh dengn bejana perak, 500 gerobak penuh dengan bejana tembaga, 500 gerobak penuh dengan pakaian yang terbuat dari berbagai macam sutra, 500 gerobak penuh dengn dadi susu (ghee), 500 gerobak penuh dengan beras yang telah tumbuk dan ditampik, 500 gerobak penuh dengan bajak, mata bajak, dan alat-alat pertanian lainnya.

Disebutkan bahwa pikiran seperti ini yang ada dalam benak Dhananjaya:”Di tempat di mana putriku pergi, ia mesti tidak boleh meminta sesuatu kepada tetangganya dengan berkata: “Mohon saya butuh ini dan itu.” Karena alasan inilah maka ia menyediakan semua barang ini. Selanjutnya Dhananjaya menyediakan untuk Visakha gadis-gadis budak untuk melayaninya, dengan membawa mereka dalam 500 kereta dan 3 orang menaiki tiap kereta, dengan berkata kepada mereka: “Kamu sekalian memandihkan, memberi makan dan mengenakan pakaian kepadanya.” Dengan demikian ia memberikan budak remaja sebanyak 1500 orang untuk melayaninya.

Kemudian pikiran berikut muncul: “Saya akan memberikan sapi-sapi kepada putriku. Maka ia memberikan perintah kepada orang-orangnya: “Saudara-saudara, pergi ke kandang kecil dan buka pintunya. Setelah melakukannya, tempatkan diri anda sekalian pada dua sisi sepanjang ¾ yojana (1 yojana kira-kira 7 km) dan lebar 42,20 m, dengan tambur di setiap ¼ yojana, dan jangan biarkan sapi-sapi meliwati batas-batas itu. Bilamana semua sudah pada posisinya masing-masing, pukullah tamburnya.

Para pekerjanya itu melakukan seperti apa yang diperintahkan. Meninggalkan kandang mereka maju ¼ yojana dan membunyikan tambur; maju lagi ke ½ yojana mereka bunyikan tambur, kemudian mereka maju hingga ke ¾ yojana mereka membunyikan tambur; lalu mereka menjaga agar tidak ada sapi yang keluar dari batas. Setelah mereka lakukan hal ini, sapi-sapi telah memenuhi area seluas ¾ yojana x 42,20m, hingga berdesak-desakan.

Selanjutnya maha hartawan memerintahkan pintu kandang di tutup,

dengn berkata: Sapi-sapi ini telah cukup untuk putriku.” Tutup pintunya.” Namun, walaupun pintu telah ditutup, oleh karena hasil buah dari punna Visakha, sapi jantang yang sangat kuat dan sapi-sapi penyusu meloncat ke luar di atas gerbang dan bebas. Sungguh, walaupun dengan berbagai usaha dari orang-orang itu untuk menahan mereka, namun 60.000 sapi jantan kuat dan 60.000 sapi penyusu, sapi jantan muda yang kuat mengikuti sapi-sapi penyusu keluar dari dalam kandang.

(Berdasarkan karma lampau Visakha apakah maka sapi-sapi itu membebaskan diri? Diinformasikan bahwa pada masa Buddha Kassapa, Visakha terlahir sebagai Sanghadasi, putri bungsu dari 7 anak wanita Raja Kiki. Pada hari ia sedang berdana 5 macam produk dari sapi kepada bhikkhu sangha yang berjumlah 20.000 bhikkhu, para bhikkhu muda dan samanera menutup patta mereka dengan berkata: “Cukup! Cukup!” Tetapi walaupun mereka berusaha untuk menahannya, ia terus berkata: “Ini sangat enak, ini angat menyenangkan.” Sebagai hasil (kammaphala) perbuatan ini, maka sapi-sapi membebaskan diri walaupun orang-orang itu berusaha menahan sapi-sapi itu.)

Setelah hartawan memberikan semua harta ini kepada putrinya, istrinya berkata kepadanya: “Anda telah menyiapkan banyak hal kepada putrimu, namun anda belum memberikan para pelayan pria dan para pelayan wanita untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan Visakha. Mengapa begini?” “Karena saya mau tahu siapa yang mempunyai rasa sayang yang tulus kepada putriku, dan siapa di antara mereka tidak sayang. Bukan maksud saya akan menyambak rambut mereka dan menyuruh mereka mengikutinya. Tetapi bilamana ia telah masuk dalam keretanya dan telah siap untuk berangkat, maka saya akan berkata: “Silahkan bagi mereka yang ingin ikut pergi bersamanya; dan siapa yang tidak ingin ikut, tinggal di sini.”

“Besok putriku akan berangkat,” pikir hartawan ketika ia sedang duduk di dalam kamarnya. I memanggil putrinya, dan menyuruh ia duduk di sampingnya, lalu berkata kepadaNya: “Putriku sayang, ada bebrapa tatacara tertentu yang harus ‘nak laksanakan selama ‘nak tinggal bersama keluarga suamimu.” Setelah berkata begitu, ia melanjutkan dengan beberapa nasehat. Kebetulan Hartawan Migara sedang duduk di ruangn sebelah dan mendengar semua nasehat yang diampaikan Hartawan Dhananjaya kepada Putrinya. Inilah nasehat yang disampaikan oleh Hartawan Dhananjaya kepada putrinya:

“Putriku sayang, selama tinggal di rumah mertuamu, api di dalam rumah jangan dibawa ke luar; api di luar jangan di bawa ke dalam; hanya memberi kepada dia yang memberi; tidak memberi kepada dia yang tidak memberi; beri kepada dia yang memberi dan yang tidak memberi; duduklah dengan bahagia; makanlah dengan bahagia; tidurlah dengan bahagia; jagalah api; dan hormatlah yang dihormat oleh orang-orang di rumah.”

Inilah sepuluh nasehat yang di sampaikan oleh Hartawan Dhananjaya kepada putrinya. Pada keesokan harinya ia mengumpulkan semua penasehat para pekerjanya dan dengan berdiri di tengah-tengah pasukan raja, ia menunjuk 8 penasehat untuk melindungi putrinya, lalu berkata kepada mereka: “Bilamana di tempat ke mana putriku akan pergi, ada kesalahan yang dituduhkan kepada putriku, anda sekalian berusaha membebaskan dia dari tuduhan.”

Kemudian ia menyuruh putrinya mengenakan gaun pengantinnya yang berharga 9 koti kahapana, dan memberinya uang sebanyak 54 koti kahapana untuk membeli bubuk wangi ketika ia mandi, ia membantu putrinya masuk ke dalam kereta. Ia mendampingi Visakha melalui 14 desa di sekitar Saketa sejauh Anuradhapura yang membayar upeti (pajak) kepadanya, lalu ia menyampaikan pernyataan dengan berkata: “Silahkan siapa yang akan ikut pergi bersama putriku!”

Sesegera para penduduk dari 14 desa mendengar menyataan ini, mereka berseru: “Mengapa kita tinggal di sini ketika nona yang mulia beangkat!” Pada waktu mereka ikut berangkat dari desa-desa itu, tidak ada yang tersisa. Hartawan Dhananjaya memberi hormat kepada Raja dan Hartawan Migara, mengikuti mereka sejenak, dan meyerahkan tanggung jawab mengenai Visakha kepada mereka.

Ketika Hartawan Migara yang sedang duduk dalam kereta yang terakhir dari deretan kereta, melihat rombongan besar orang-orang mengikutik, ia bertanya: “Siapa orang-orang ini?” Para pelayan pria dan para pelayan wanita yang bertugas untuk menantumu.” “Siapakah yang dapat memberi makan kepada orang sebanyak ini? Pukul mereka dengan tongkat dan usir mereka pulang.” Tetapi Visakha melakukan protes dengan berkata: “Berhenti! Jangan usir mereka. Satyu kelompok akan memberi mereka makan.” Hartawan menjawab protes Visakha: “Gadis manis, kita tidak memerlukan orang-orang ini. Siapa yang akan memberi mereka makan?” Ia menyuruh mereka dipukul

dengan bongkahan tanah, tongkat, dll dan mengusir mereka balik. Mengambil hanya mereka yang tidak dapat diusirlagi, dengan berkata: “Mereka ini cukup bagi kita,” lalu meneruskan perjalannan.

Kita Visakha mencapai gerbang kota Savatthi, ia berpikir: “Apakah saya akan masuk kota dengan duduk saja dalam kereta yang tertutup atau berdiri di atas kereta?” Kemudian pikiran berikut muncul: “Bilamana saya masuk ke dalam kota dengan duduk dalam kereta yang tertutup, maka kemegahan kehebatan gaun pernikahanku tidak ada yang lihat.” Selanjutnya ia masuk ke dalam kota dengan berdiri di atas kereta, menunjukkan dirinya kepada penduduk kota. Ketika penduduk kota Savatthi melihat penampilan Visakha, mereka berkata: “Inilah yang mereka katakan Visakha, penampilannya pantas untuk dia.” Demikianlah kemegahan tertampak ketika Visakha masuk ke dalam rumah Hartawan Migara.

Pada hari ketika Visakha masuk ke dalam kota Savatthi, semua penduduk kota saling berkata: “Hartawan Dhananjaya sangat baik melayani kami ketika kami mengunjungio kotanya.” Maka mereka mengirim hadiah sesuai kemampuan mereka untuk Visakha. Untuk semua hadiah yang diberikannya, Visakha membaginya kepada keluarga di seluruh Saketa. “Berikan ini kepada ibuku,” ia juga berkata; “ini untuk ayahku, ini untuk kakakku, ini untuk saudara perempuanku.” Demikianlah ia mengatur semua hadiah yang ia kirimkan dengan berita yang baik kepada para penerimanya, memilih kata-kata yang sesuai dengan usia dan kedudukan mereka, serta menganggap semua penduduk di kota itu sebagai kerabatnya.

Pada suatu ketika di tengah malam seekor kuda betina yang bagus milik Visakha melahirkan seekor kuda. Karena itu Visakha pergi ke kandangan kuda, bersama beberapa pembantu perempuannya yang membawa obor di tangan mereka. Ia memandikan anak kuda itu dengan air hangat dan meminyakinya, setelah melakukan hal itu, Visakha balik ke kamarnya.

Sementara itu Hartawan Migara berencana melakukan pesta perkawinan putranya, dan sama sekali tidak memperdulikan Tathagata, walaupun kenyataannya Guru pada waktu itu tinggal di dekat saja. Sebaliknya, karena didesak oleh rasa persahatan yang telah lama kepada petapa telanjang, ia berguman: “Saya akan menyatakan hormatku kepada petapa.” Pada suatu hari

ia memerintahkan untuk memasak bubur yang terbaik pada 100 buah bejana baru, mengundang 500 petapa telanjang, mendampingi mereka ke rumahnya, setelah melakukan hal itu, ia menyuruh orang memberitahukan kepada Visakha: “Dipersilahkan putri menantuku datang untuk memberi hormat kepada para arahat.”

Pada waktu itu Visakha telah menjadi Sotapanna, jami merupakan salah satu ariya puggala, maka ia mera senang dan gembira ketika mendengar kata “Arakat.” Namun ketika ia memasuki rungan tempat para petapa telanjang sedng makan dan melihat pada mereka, ia berkata: “Orang-orang seperti ini jauh dari prilaku yang sopan dan tidak takut melakukan perbuatan jahat, mereka tidak berhak menggunakan kata “arahat.” Mengapa mertuaku memanggil saya supaya datang?” Ia mengeritik hartawan, lalu ia kembali ke kamarnya.

Ketika para petapa telanjang melihat Visakha, mereka mengeritik hartawan dengan satu pernyataan, dengan berkata: “Saudara, mengapa anda tidak mencari gadis lain untuk menjadi istri putramu? Memasukkan seorang upasika dari samana Gotama ke rumahmu, maka anda telah memasukkan si Paling Sial di antara para orang sial. Segera usir dia dari rumah ini.” Tetapi Hartawan Migara berpikir: “Tidak mungkin saya mengusirnya dari rumahku berdasarkan hanya kata-kata dari petapa-petapa ini; ia adalah putri dari suatu keluarga luar biasa.” Lalu ia berkata kepada para petapa telanjang: “Para petapa yang mulia, wanita muda cwnderung melakukan banyak hal tertentu, apakah disadari atau tidak. Tenanglah.” Setelah berkata begitu, ia mempersilahkan para petapa untuk pergi. Sesuadah itu ia duduk ditempat duduk yang mahal dan mulai makan bubur yang dicampur madu dalam piring emas.

Ketika itu ada seorang bhikkhu ‘yang hanya hidup dengan pindapata’ (pindacarika) sedang pindapata, masuk ke rumah hartawan. Sementara itu, Visakha sedang berdiri mengipasi mentuanya. Ketika Visakha melihat bhikkhu itu, ia berpikir: “Tidak pantas bagiku memberitahukan keberadaan bhikkhu ini kepada mertuaku,” maka ia melangkah ke samping agar mertuanya dapat melihat bhikkhu itu. Tetapi mertuany walaupu telah melihat bhikkhu itu, berpura-pura tidak melihatnya dan dengan kepala menunduk tetap meneruskan makannya. Visakha menyadari sendiri bahwa walaupun mertuaku melihat bhikkhu itu namun ia tidak bereaksi apa-apa, maka Visakha berkata kepada

bhikkhu itu: “Teruskanlah perjalanan, Bhante. Mertuaku sedang makan makanan sisa.”

Walaupun Hartawan Migara telah menolak saran para petapa telanjang (untuk mengusir Visakha), namun sekarang sementara ia duduk di situ, ia mendengar Visakha berkata: “Ia sedang makan makanan sisa.” Segera ia mengangkat tangannya dari piring dan berkata: “Bawa pergi bubur ini dan usir wanita ini dari rumah ini. Mengingat pada waktu pesta seperti ini ia menuduh seseorang seperti saya sedang makan makanan yang tidak baik!” Namun semua budak dan pembantu di rumah itu adalah pengikut Visakha. Siapakah yang berani mengerakkan tangan dan kaki mereka? Tidak ada seorang pun di antara mereka berani walau hanya berbicara.

Visakha mendengar kata-kata yang diucapkan oleh mertuanya, lalu berkata: “Ayah mertua, ini merupakan dasar yang tidak cukup kuat bagi saya unyuk meninggalkan rumahmu. Saya bukan seorang perempuan murahan yang dibawa kemari olehmu dari tempat mandi di sungai. Para putri yang memiliki para ayah dan ibu yang masih hidup, tidak meninggalkan rumah mertua mereka hanya berdasarkan hal seperti ini. Sesungguhnya, berdasarkan hal-hal seperti ini, ketika saya berangkat dan datang ke mari, ayahku telah memerintahkan 8 penasehat rumah tangga dan menempatkan mereka untuk ku, dengan berkata:

“Bilamana di tempat ke mana putriku akan pergi, ada kesalahan yang dituduhkan kepada putriku, anda sekalian berusaha membebaskan dia dari tuduhan.” Maka panggil para penasehatku biar mereka membebaskanku dari tuduhan.

“Apa yang Visakha katakan benar,” kata hartawan. Lalu ia memanggil 8 penasehat dan berkata kepada mereka: “Pada waktu pesta, sedang saya duduk dan makan bubur dengan piring emas, wanita muda ini berkata saya sedang makan makanan yang tidak baik. Hukum dia berdasarkan tuduhan ini dan usir dia dari rumah ini. “Apakah yang ia katakan benar, Visakha?”

“Saya tidak mengatakan sesungguhnya seperti itu. Persoalannya begini: Ada seorang bhikkhu sedang pindapata dan berhenti di depan pintu rumah ini, ketika itu mertuaku sedang makan bubur dengan bumbu yang banyak seperti madu, namun tidak memperdulikan bhikkhu itu. Saya berpikir: ‘Mertuaku tidak mendapat karma baik baru pada kehidupan sekarang ini, tetapi ia hanya

menikmati (sisa) karmanya yang lalu saja.’ Maha saya berkata kepada bhikkhu: ‘Lanjutkanlah perjalan Bhante. Mertuaku sedang makan makanan sisa.’ Ada salah apa padaku dengan mengatakan hal seperti ini?” “Tidak sama sekali. Apa yang dikatakan oleh putri kami adalah wajar. Mengapa anda marah kepadanya?”

“Saudara-saudara sekalian, saya menerima ia tidak bersalah dalam hal ini. Namun, pada suatu waktu, di waktu tengah malam, ia pergi ke belakan rumah ini bersama dengan para budaknya, pria dan wanita.” “Apakah benar yang ia katakan, Visakha.” “Kawan-kawan, alasan pergi tidak lain adalah begini: ‘ Kuda betinaku yang bagus melahirkan seekor anak kuda di kandang yang ada persis disamping rumah. Saya berpikir: ‘Tidak pantas apa bila saya hanya duduk di sini dan tidak berbuat sesuatu.’ Maka saya memerintah para budakmu untuk membawa obor dan bersama dengan para budak pria dan wanita, saya pergi ke kandang dan melalukan sesuatu yang cocok untuk kuda itu.” “Saudara, putri kami melakukan pekerjaan di rumahmu yang tidak pantas sekalipun dilakukan oleh budakmu. Salah apa yang anda temukan?”

“Saudara-saudara sekalian, saya menerima ia tidak bersalah dalam hal ini. Namun, ketika Visakha sudah akan datang kemari, ayahnya memberinya nasehat, ia memberikan kepadanya Sepuluh Nasehat dengan arti tersembunyi yang dalam. Saya tidak mengetahui apa artinya hal-hal itu. Persilahkan ia menerangkan kepadaku artinya. Seperti contoh, ayahnya mengatakan kepadanya: ‘Api di dalam jangan dibawa ke luar.’ Bagaimana kita dapat hidup tanpa memberikan api kepada para tetangga yang tinggal di ke dua sisi kita?” “Apakah yang ia katakan benar, Visakha?” “Kawan-kawan, yang dimaksud oleh ayahku bukan seperti itu. Yang dimaksudkan oleh ayahku, adalah: ‘Anakku, bilamana anak melihat kesalahan pada mertuamu atau pada suamimu, jangan katakan hal tu bila kau datang ke sini atau ke tempat lain, karena tidak ada api yang dapat dibandingkan dengan api seperti ini.”

“Saudara-saudara, bolehlah seperti itu. Tetapi ayahnya berkata kepadanya: ‘Api di luar jangan dibawa ke dalam.’ Bilamana api di dalam padam , apa lagi yang dapat kita lakukan selain membawa api dari luar.” “Apakah benar yang ia katakan, Visakha?” “Kawan-kawan, yang dimaksud oleh ayahku bukan seperti itu. Yang dimaksud oleh ayahku, adalah: ‘Bilamana para wanita dan pria di tetanggamu mengatakan kata-kata jahat tentang mertuamu atau

suamimu, janganlah kau menyampaikan (bawa) apa yang kau dengar itu dengan berkata: ‘Anu dan situ mengtakan ini dan itu yang tidak baik tentangmu.” Karena tidak ada api yang dpat dbandingkan dengan api ini.”

Jadi ia tidak bersalah dalam hal ini, begitu pula dengan hal-hal lain. Inilah arti sebenarnya dari nasehat-nasehat yang tersisa: “Berikan kepada dia yang memberi,” artinya seseorang memberikan hanya kepada mereka yang mengembalikan barang yang dipinjam. “Tidak memberi kepada yang tidak memberi,” artinya seseorang tidak memberi kepada mereka yang tidak mengembalikan barang yang dipinjam. “Memberi kepada yang memberi dan kepada yang tidak memberi,” artinya bilamana kerabat atau kawan miskin memerlukan bantuan, kita harus memberikan kepada mereka, apakah mereka dapat membayarnya (mengembalikannya) atau tidak.

“Duduklah dengan bahagia,” artinya bilamana seorang istri melihat ibu mertua, ayah mertua atau suami, ia harus berdiri dan tidak boleh duduk saja. “Makanlah dengan bahagia,” artinya seorang istri belum boleh makan sebelum ayah-ibu mertua dan istri makan. Ia harus melyani mereka dahulu, dan bilamana ia yakin bahwa mereka sudah siap semua untuk makan, maka barulah ia makan. “Tidurlah dengan bahagia,” artinya serang istri tidak pergi tidur sebelum ayah-ibu mertua atau suaminya tidur. Ia harus melakukan pekerjaan besar kecil yang harus dia kerjakan, setelah ia mengerjakannya barulah ia berbaring untuk tidur.

“Jagalah api,” artinya seorang istri memandang ayah-ibu mertua atau suami bagaikan nyala api atau raja naga. “Hormatlah apa yang dihormati oleh orang-orang di rumah,” artinya seorang istri harus memperhatikan ayah-ibu mertuanya dan suaminya sebagai yang perlu dihormatinya.

Ketika hartawan mendengar uraian arti dari Sepuluh Nasehat, ia duduk dengan kepala tertunduk, tak dapat menjawab. Kemudian para penasehat bertanya kepadanya: “Hartawan, apakah masih ada kesalahan pada anak kami?” “Saudara-saudara, tidak ada.” “Bila demikian, mengapa ia yang tanpa kesalahan, tanpa sebab, anda usahakan untuk diusir dari rumahmu?” Kemudian Visakha berkata: “Kawan-kawan, walaupun pada mulanya tidak pantas bagiku untuk pergi karena perintah ayah mertuaku, lagi pula ketika saya kemari ayah menyerahkan saya ke tangan para penasehat sekalian untuk menentukan saya bersalah atau tidak, namun sekarang, setelah jelas saya tidak bersalah, maka sudah pantas kalau saya pergi.”

Segera Visakha memberikan perintah: “Pesiapakan keberangkatan saya, para pembantu, budak pria dan wanita, bersama para pengikut, serta kereta-keretaku.” Karena itu, hartawan menahan para penasehat dan berkata kepada Visakha: “Menantuku, karena kebodohankulah aku berkata begitu. Maafkan saya.” “Mertuaku, saya memaafkanmu untuk semuanya, dari pihakku. Namun, ayah adalah putri sebuah keluarga yang memiliki keyakinan yang kuat pada Buddha Sasana, dan kami tidak dapat hidup tanpa Bhikkhu Sangha. Jikalau saya diizinkan untuk melayani Bhikkhu Sangha sesuai dengan keinginan saya, saya akan tinggal.” “Menantuku, anda dapat melayani para bhikkhu sesuai dengan kehendak hatimu.”

Visakha mengirimkan undangakn kepada Pemilik Dasabala, dan pada keesokan harinya ia melayani Beliau di rumahnya. Para petapa telanjang juga mendengar bahwa Guru pergi ke rumah Hartawan Migara, mereka datang dan duduk di seputar rumah. Ketika Visakha telah memberikan Dana Air kepada guru, ia mengirmkan kabar kepada mertuanya sebagai berikut: “Pesta telah selesai. Silahkan ayah mertua datang untuk menemui Pemilik Dasabala. Ketika itu, Hartawan Migara ingin pergi, tetapi para Petapa Telanjang membujuknya dengan berkata: “Saudara, tidak perlu berpikir untuk menemui petapa Gotama.” Maka ia mengirim balik kabar: “Silahkan menantuku sendiri yang menemuinya.”

Setelah Visakha melayani Bhikkhu Sangha yang dikepalai Sang Buddha dengan makanan, dan makan telah selesai, ia mengirmkan kabar ke dua kepada mertuanya: “Silahkan ayah mertua mendengar Dhamma yang akan dibabarkab oleh Guru.” Hartawan berpikir: “Sekarang, sangat tidak pantas apabila saya tidak pergi,” dan karena ingin sekali mendengar Dhamma, maka ia pergi. Karena itu para Petapa Telanjang untuk ke dua kalinya berkata kepadanya: “Baiklah, bilamana anda memutuskan ingin mendengar petapa Gotama, duduklah di balik luar layar kain dan mendengarlah.” Hartawan pergi dan duduk dibalik layar kain.

Kemudian Guru berkata: “Anda boleh duduk di balik layar, dibalik dinding, di balik gunung, atau anda duduk di balik pegunungan yang melingkari bumi; Saya adalah Buddha, dan saya dapat memperdengkar suara kepadamu.” Bagaikan menangkap dan menggoyang batang pohon apel yang besar atau menyebabkan hujan ambrosia turun, beliau mulai ‘membabarkan

Dhamma secara berurutan’ (anupubbikatha). Sementara itu, ketika Samma Sambuddha membabarkan Dhamma, maka mereka yang berada di depan dan mereka yang berada di belakang, mereka yang berada sejauh 100 Cakkavala (tatasurya) atau 1000 Cakkavala, juga mereka yang berada di Alam Akanittha berkata: “Guru hanya melihat saya sendiri; Beliau hanya membabarkan kepada saya sendiri.” Karena Guru nampaknya hanya melihat pada setiap individu dan berbicara dengan setiap individu saja. Para Buddha dikatakan bagaikan bulan. Karena bulan yang berada di tengah angkasa nampak sama bagi semua makhluk, sehingga masing-masing individu berpikir: “Bulan di atas saya, bulan tepat di atas saya,” begitu pula para Buddha nampak berdiri berhadap-hadapan dengan setiap individu, di mana pun individu berada. Ini dikatakan sebagai pahala dari kedermawanan memberikan kepala mereka, mencopot mata mereka, memberikan jantung mereka, dan memberikan putra mereka menjadi budak orang lain, seperti putranya Jali, putrinya Kanhajina dan istrinya Maddi (baca Vessantara Jataka).

Selagi Hartawan Migara duduk di balik layar, mengarahkan perhatiannya pada ajaran Tathagata, ia menjadi Sotapanna dengan 1000 macam kegembiraan, dan diliputi keyakinan yang tak tergoyahkan, menerima Tissarana dengan penuh keyakinan. Ia mengangkat layar, ia pergi ke depan, mencium dada menantunya, ia mengangkat Visakha sebagai ibunya, dengan berkata: “Sejak hari ini anda adalah ibuku.” Dan sejah hari itu ia dipangggil Visakha Migaramata (Ibu Migara). (Kemudian, ketika Visakha meiliki putra, ia memberikan nama pada putranya Migara).

Kemudian, Hartawan melepaskan dekapannya dari dada Visakha, lalu ia pergi kepada Bhagava, menjatuhkan dirinya di kaki Beliau, megosok kaki Beliau dengan tangannya, kemudian mencium ke dua kaki beliau, dan tiga kali ia menyebut namanya, dengan berkata : “Bhante, saya Migara.” Lalu ia berkata: “Bhante, selama ini saya tidak mengetahui benyaknya manfaat berdana kepadamu, tetapi sekarang karena manantuku, saya dapat mengetahuinya dan telah mendapat kebebasan dari semua derita (dukkha) dari alam penderitaan (apaya). Ketika menantuku datang ke rumahku, ia datang demi kesejahteraan dan keselamatanku. Stelah berkata begitu, ia mengucapkan syair berikut:

“Pada hari ini saya tahu di mana dana menghasilkan pahala yang banyak;

Demi kesejahteraanku, menantu wanita yang terbaik datang ke rumahku.”

Visakha mengundang Guru untuk datang besok, dan pada hari berikutnya ibu mertuanya menjadi Sotapanna. Sejak waktu itu, rumah itu tetap terbuka untuk Buddha Sasana.

Kemudian hartawan berpikir: “Menantu perempuanku telah memberikan pelayanan yang sangat besar. Saya akan memberikannya sebuah hadiah. Gaun pengantinya sangat berat sehingga tidak mungkin ia selalu mengenakannya. Saya akan membua sebuah gaun seperti itu yang ringan untuknya dan ia dapat mengenakannya pada siang dan malam dalam 4 macam posisi tubuh.” Selanjutnya dengan uang sebanyak 100.000 kahapana ia menyuruh membuat mantel untuknya yang dinamakan mantel keras terasah, setelah mantel ini selesai, ia mengundang Bhikkhus Sangha yang dikepalai Sang Buddha dan melaksankan sebuah pesta yang besar. Kemudian ia menyuruh Visakaha mandi dengan 16 gentong dengan air harum, sesudah itu mengenakan mantel ini. Setelah ia mengenakannya, ia menyuruh Visakha untuk berdiri di depan guru dan memberikan hormat kepada Guru. Kemudian guru mengucapkan kata anumodana (ikut gembira atas perbuatan dana), dan kembali ke vihara.

Sejak itu Visakha memberikan dana-dana, melaksanakan perbuatan berjasa lainnya, dan mendapat 8 berkah (attha Vare). Bagaikan bulan yang bertambah besar di angkasa, begitu pula dengan Visakha yang bertambah besar dengan pra putra dan para putrinya. Dikatakan bahwa ia mempunyai 10 putra dan 10 putri, dan masing-masing mereka mempunyai 10 putra dan sepuluh putri (cucu-cucunya), dan(cucu-cucunya ini) masing-masing mempunyai 10 putra dan 10 putri pula. Dengan demikian anak-anak, cucu dan cicitnya dalam garis langsung dari Visakha, berjumlah 8420 orang. Visakha sendiri hidup hingga berusia 120 tahun, namun tidak ada sehelai rambut putih di kepalanya, ia selalu nampak seperti berusia 16 tahun.

Ketika orang-orang melihat ia ke vihara, di kelilingi oleh para anak-anak dan cucu-cucunya, selalu ada orang yang bertanya: “Yang mana Visakha?” Ketika mereka melihat ia datang, mereka berpikir: “Biarlah ia berjalan agak jauh; nyonya kita kelihatan cantik kalau ia berjalan.” Bilamana mereka melihat ia

duduk atau berbaring, mereka berpikir: “Biarlah ia berbaring lebih lama; nyonya kita kelihatan cantik ketika ia berbaring.” Dengan begitu tidak ada seorang pun yang dapat berkata: “Ia tidak nampak cantik dalam 4 posisi.”

Lagi pula ia memiliki kekuatan sekuat 5 gajah. Karena pada suatu hari raja, yang mendengar bahwa Visakha memiliki kekuatan 5 gajah, bertekad akan mengujinya. Demikianlah dalam perjalanan Visakha kembali dari vihara, setelah mendengar Dhamma, Raja melepaskan seekor gajah ke arah Visakha. Gajah mengangkat gadingnya dan berjalan ke arag Visakha. Lima ratus wanita yang menyertainya, banyak yang lari ketakutan, sedangkan yang lain mengangkat tangan ke arah Visakha. “Ada apa?” tanya Visakha.

“Nyonya yang baik,” mereka menjawab, “mereka mengatakan bahwa raja ingin menguji kekuatan anda dan beliau telah melepas seekor gajah untuk melawan anda.” Ketika Visakha melihat gajah itu, ia berpikir: “Mengapa saya harus lari? Bagaimana kalau saya pegang dia? Jika saya memeganggnya dengan kuat, saya dapat membunuhnya.” Maka Visakha memegang gadingnya di antara ke dua jarinya, llu ia mendorongnya mundur. Gajah tidak dapat melawan kekuatan Visakha dan untuk mempertahankan injakan kakinya, menyebabkan gajah jatuh terduduk di halaman istana. Karena hal itu maka orang-orang bertepuk tangan untuknya, dan Visakha bersama para pesertanya kembali ke rumahnya dengan selamat.

Pada waktu itu, di Savatthi, Visakha Migaramata telah memiliki banyak anak, banyak cucu dan banyak cicit. Semua anak, cucu dan cicit bebas dari sakit, dan ia dianggap membawa keberuntungan. Juga semua anak, cucu dan cicitnya yang berjumlah beberapa ribu itu tidak ada yang meninggal dunia. Pada pesta-pesta dan hari-hari libur, para penduduk Savatthi selalu mengundang Visakha lebih dahulu ke pesta mereka.

Pada suatu pesta, semua orang mengenakan baju baru yang mahal dan didandani, sedang dalam perjalanan ke vihara untuk mendengar Dhamma, Visakha juga, setelah makan di rumah di mana ia di undang, mengenakan mantel kebesarannya dan bersma orang-orang pergi ke vihara. Ia melepaskan semua perhiasannya, ia memberikannya kepada pelayan wanitanya. Hal ini sama seperti apa yang dikatakan:

Sementara ada pesta di Savatthi, dan orang-orang mengnakan baju baru

yang mahal dan didandani, pergi ke vihara; dan Visakha Migaramata, mengenakan pakaian kebesarannya dan didandani, juga pergi ke vihara. Viskha Migaramata melepaskan semua perhiasan, membungkusnya dengan kain, lalu memberikannya kepada pembantu wanitanya, dengan berkata: “Hai, ambil bukusan ini!”

Dikatakan bahwa, selagi Visakha dalam perjalanan ke vihara, ia berpikir: “Tidak pantas bilamana saya masuk ke vihara diliputi oleh permata, mengenakan meantel mahal seperti ini pada diriku, yang menutupi dari kepala sampai kaki.” Maka ia melepaskan mantel mewahnya, ia melipatnya dan memberikan kepada pembantunya, yang mampu membawanya, yang memiliki kekuatan seperti kekuatan 5 ekor gajah, yang dimilikinya karena pahala karmanya. Itulah sebabnya Visakha berkata kepadanya: “Nona, bawa mantel ini. Pada waktu saya kembali setelah mendengar khotbah Guru, saya akan mengenakannya lagi.” Setelah ia memberikan mantel mewah kepada pembantunya, ia mengenakan mantel keras yang digosok dengan baik, dan mendekati guru untuk mendengar Dhamma. Setelah mendengar uraian Dhamma Sang Bhagava, ia bangkit dari duduk dan keluar. Pembantunya yang telah melupakan mantel mewah berjalan bersamanya.

Pada waktu itu, sudah merupakan kebiasaan Ananda Thera, setelah orang-orang pulang sesudah mendengar Dhamma, dan bilamana ada barang yang terlupakan atau ketinggalan, ia akan menyimpannya. Begitu pula pada hari yang istimewa ini, karena ia melihat mantel mewah, ia berkata kepada Guru: “Bhante, Visakha telah pergi dan melupakan mantel mewahnya.” “Simpan itu, Ananda.” Demikianlah maka Thera mengambil mantel itu dan meng-gantungnya di samping tangga. Visakha berpikir: “Saya ma tahu obat apa dan kebuthan lain apa yang dibutuhkan oleh para bhikkhu yang datang dan pergi dan yang sakit atau yang diperlukan.” Karena maksud menyiapkan kebutuhan mereka, maka Visakha bersama Suppiya berkeliling vihara.

Pada waktu itu, bilamana para bhikkhu muda dan para samanera melihat dua upasika ini berkeliling vihara, mereka yang membutuhkan dadi susu, madu, micak dan bkebutuhan lainnya biasanya mengambil patta dan bejana mereka dan mendatangi mereka berdua. Pada hari ini pun mereka melakukan kebiasaan itu. Suppiya melihat ada seorang bhikkhu yang sakit bertanya kepadanya: “Apakah yang bhante perlukan?” “Sup-daging.” “Baiklah, Bhante. Saya akan

mencarinya dan mengirimkan kepada bhante.” Pada keesokan harinya, karena tidak menemukan daging yang baik untuk membuat sup, ia memotong daging pahanya. Namun karena keyakinannya kepada Guru, tubuhnya pulih kembali.

Ketika Visakha telah melayani semua bhikkhu yang sakit dan semua bhikkhu muda dan samanera, ia pergi melalui pintu yang lain. Berhenti di dekat vihara ia berkata kepada gadis pembantunya: “Nona, bawa kemari mantel saya. Saya mau mengenakannya.” Pada saat itu, gadis pembantu merenung bahwa ia telah lupa membawa mantel itu bersamanya ketika ia ke luar. Maka ia menjawab: “Nyonya, saya lupa membawa mantel itu.” “Naiklah kalau begitu, balik dan ambil itu. Tetapi bilamana Yang Mulia Ananda Thera telah mengambil dan menyimpannya, jangan bawa itu kepada saya. Dalam hal ini dengan senang hati saya memberikannya kepada Ananda Thera.” Karena Visakha mengetahui: “Merupakan kebiasan Thera untuk menyimpan barang-barang yang terlupa atau tertinggal.” Karena hal inilah maka Visakha berkata begitu.

Ketika Thera melihat pembatu pembantu ini, ia bertanya kepada pembantu itu: “Mengapa kau kembali?” Gadis pembantu Visakha menjawab: “Ketika saya pergi saya lupa membawa mantel milik dari Nyonya saya.” “Saya mengantungnya di tangga. Pergilah ambil.” Tetapi pembantu itu menjawab: “Bhante, semua barang yang telah Bhante sentuh tidak akan dipindahkan oleh nyonya saya.” Dengan perasaan senang dan gembira, ia kembali kepada nyonyanya. “Ada apa? Tanya Visakha. Gadis pembantu menceritakan apa yang terjadi. “Nona,” jawab Visakha, “saya tidak akan mengenakan barang yang telah disentuh oleh yang mulia. Saya memberikannya dengan senang hatu. Tetapi sebuah mantel akan mengganggu Yang Mulia karena harus mengurusnya. Saya akan menjualnya dan memberikan uang seharga mantel itu kepada Yang Mulia. Pergi dan ambil itu.” Gadis pembantu pergi dan membawa balik mantel itu.

Visakha tidak mengenakan mantel itu, tetapi ia mengirimnya kepada tukang emas dan menanyakan harganya. Tukang emas memberitahu: “Mantel harganya 9 koti kahapana, dan biaya pembuatannya 100.000 kahapana.” Selanjutnya Visakha menyuruh mantel itu ditempakan pada sebuah kereta dan berkata: “Baiklah , jual itu.” Namun tidak ada seorang pun yang sanggup membeli dengan harga seperti itu. (Wanita yang sanggup mengenakan mantel itu sulit diemukan. Sesungguhnya di dunia ini hanya ada 3 wanita yang

mendapat gaun atau mantel seperti ini, yaitu: Upasika Visakha; istri Bandula, raja suku Malla; dan Mallika putri hartawan Baranasi).

Akhirnya Visakha sendiri yang membeli mantel itu, seharga 9 koti kahapana dan 100.000 kahapana yang ia tempatkan pada sebuah kereta, dan menyuruh uang itu di bawa ke vihara. Lalu ia bernamaskara kepada Guru, dan berkata: “Pikiran seperti ini muncul dalam benakku: ‘Bhante, Thera Ananda telah menyentu mantelku, dan sejak saat itu saya memutuskan saya tidak akan mengenakannya lagi. Maka saya memutuskan menjualnya dan uang penjualannya saya serahkan kepada Bhante.’ Tetapi ketika saya coba menjualnya, saya tidak menemukan seseorang yang dapat membelinya, maka saya sendiri yang membelinya dan membawa uang itu kepada Bhante. Empat kebutuhan mana yang perlu saya berikan kepada Bhante?”

Guru berkata: “Visakha, apakah sesuai bagi anda untuk mendirikan kuti (tempat tinggal) bagi para bhikkhu di gerbang timur vihara?” “Itu sangat cocok bagi saya, Bhante,” jawab Visakha, hatinya diliputi gegembiraan. Maka dengan uang sebannyak 9 koti kahapana ia membeli tanah untuk lokasi, dan dengan 9 koti kahapana lagi ia mulai membangun kuti bagi para bhikkhu.

Pada suatu hari, selagi Guru melihat (memeriksa) dunia pada pagi menjelang mata hari terbit, Beliau mengetahui bahwa kemampuan menjadi Sotapanna telah dimiliki oleh seorang putra hartawan bernama Bhaddiya, yang dahulu meninggal dari alam dewa dan terlahir kembali dalam keluarga hartawan di kota Bhaddiya. Maka setelah Beliau sarapan di rumah Visakha, beliau pergi melalui gerbang selatan dan sejenak berada di Jetavana; setelah Beliau makan di rumah Anathapindika, Beliau keluar melalui gerbang timur dan sejenak berada di Pubbarama. Dengan demikian, ketika orang-orang melihat Sang Bhagava ke luar melalui gerbang utara, mereka menyadari bahwa Beliau akan melakukan perjalanan.

Demikianlah, ketika pada hari itu Visakha mendengar Guru akan pergi melalui gerbang uatara, ia segera pergi menemui Guru, bernamaskara, dan berkata: “Bhante, apakah Bhante berniat akan bepergian?” “Ya, Visakha.” “Bhante, saya telah mendirikan kuti untuk Bhante dengan semua biaya. Mohon balik, Bhante?” “Visakha, perjalanan ini tidak memungkinkan saya balik.”

Visakha berpikir: “Tidak diragukan Sang Bhagava punya alasan kuat dengan apa yang Ia lakukan.” Mka ia berkata kepada Guru: “Bila demikian,

baiklah. Sbelum hante pergi, tunjuk beberapa bhikkhu yang mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan untuk tinggal.” “Visakha, ambillah patta dari bhikkhu yang anda sukai.”

Walaupun Visakha menyukai Ananda Thera, namun ia berpikir: “Mahamoggallana Thera memiliki kekuatan batin yang luar biasa, dengan bantuannya maka pekerjaan saya akan mudah selesai,” ia mengambil patta Mahamoggallana Thera. Thera melihat kepada Guru, dan Guru berkata: “Moggallana, bawalah bersamamu para pengikutmu sebanyak 500 bhikkhu dan balik.” Thera melaksanakan seperti apa yang diperintahkan guru.

Dengan kekuatan batin Moggallana Thera mereka pergi 50 atau 60 yojana mengambil pohon-pohon dan bebatuan dan kembali dengan benda-benda itu pada hari yang sama. Hal ini tidak melelahkan mereka untuk mengangkat pepohonan dan bebatuan dan menempatkan itu ke atas gerobak, dan tidak ada as gerobak yang patah, tetapi dengan cepat mereka mendirikan kuti dua tingkat.

Ada 500 kamar di lantai bawah dan 500 kamar di lantai atas; dengan demikian terdapat 1000 kuti.

Guru setelah bepergian selama 9 bulan, kembali ke Savatthi. Dalam 9 bulan, pekerjaan Visakha selesai, dan ia sedang membangun sebuah menara yang kuat terbuat dari emas merah yang dibentuk untuk menempatkan 60 gentong air.

Ketika Visakha mendengar bahwa Guru sedang dalam perjalanan ke Jetavana, maka ia peri menemui Beliau, dan mengantar Beliau ke vihara yang sedang ia bangun, dan memastikan dengan janjinyakepada Beliau: “Bhante, bawalah Bhikkhu Sangha ke sini selama 4 bulan dan tinggallh dsi sini, saya akan menyelesaikan kuti-kuti untuk para bhikkhu.” Guru menyetujui untuk datang. Sejah hari itu ia memberikan dana-daba kepada Bhikkhu Sangha yang dikepalai oleh Sang Buddha di vihara itu.

Ada seorang teman Visakha yang datang menemuinya dengan membawa sehelai permadani yang berharga 100.000 kahapana, dan berkata kepada Visakha: “Kawan, saya ingin menempatkan permadani ini di tempatmu. Katakanlah kepadaku di mana saya akan membentangkannya.” Visakha menjawab: “Bilamana saya berkata kepadamu, ‘Tidak ada tempat lagi,’anda akan berpendapat, ‘Visakha tidak mau memberikan tempat untuk saya;’ maka anda sendirilah yang mencari tempat di antara dua lantai dan seribu kamar, dan

lihatlah apakah ada tempat untuk membentangkan permadanimu.” Selanjutnya wanita itu membawa permadani yang berharga 100.000 kahapana dan pergi ke semua kuti. Namun ia tidak menemukan permadani yang lebih murah daripada yang ia miliki, maka ia berpikir: “Saya tidak akan mendapat pahala dalam gedung kuti-kuti ini.” Ia diliputi kesedihan, berhenti di tempat tertentu dan berdiri sambil menangis.

Ananda Thera melihatnya dan bertanya kepadanya: “Mengapa anda menangis?” Ia memberitahukan persoalannya. Thera berkata: “Jangan bersedih. Saya akan menunjukkan padamu di mana anda dapat membentangkan permadanimu. Buatlah keset kaki dan letakkan itu di antara tangga dan tempat para bhikkhu mencuci kaki mereka. Bilamana para bhikkhu mencucu kaki mereka, lebih dahulu mereka akan melap (menggosok) kaki mereka pada keset sebelum mereka pergi ke vihara. Dengan begini anda akan mendapat banyak pahala.” Nampaknya Visakha tidak memperhatikan bagian ini.

Setelah 4 bulan Visakha memberikan dana kepada Bhikkhu Sangha yang dikepalai oleh Sang Buddha, maka pada hari terakhir Visakha memberikan kain untuk jubah (civara) kepada Bhikkhu Sangha, setiap samanera menerima kain untuk civara seharga masing-masing 1000 kahapana. Di akhir semuanya, ia memberikan obat-obatan kepada para bhikkhu, dengan mengisi patta setiap bhikkhu. Harta yang ia berikan sebagai dana berjumlah 9 koti kahapana. Jadi untuk semuanya ia menghabiskan harta sebanyak 27 koti kahapada untuk Buddha Sasana, yaitu 9 koti kahapana untuk membeli tanah lokasi, 9 koti untuk mendirikan kuti, dan 9 koti untuk dana. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang memberikan banyak uang seperti wanita ini yng hidup di rumah orang yang (yang pada waktu yang lalu) beragama lain.

Pada hari ketika vihara telah selesai dan acara peresmian sedang berlangsung, sementara bayangan malam bertambah panjang, Visakha berjalan mengelilingi vihara disertai anak-anak, cucu-cucu dan buyutnya. Kemudian ia berpikir: “Sekarang semua harapanku telah terpenuhi, harapan yang saya tekadkan pada masa yang lampau.” Dalam lima syair, dengan suaranya merdu, ia menyatakan Ungkapan Syadhu sebagai berikut:

Kapankah saya akan memberikan dana sebuah vihara, sebuah tempat

yang menyenangkan yang diplester deng semen dan adukan pasir? Memenuhinya adalah keinginanku.

Kapankah saya akan memberikan dana perabotan sebuah tempat tinggal, tempat-tempat tidur, tempat duduki, tikar dan bantal?

Memenuhinya adalah keinginanku.

Kapankah saya akan memberikan dana makanan, makanan tertentu yang dibumbuhi dangan sup daging murni? Memenuhinya adalah keinginanku.

Kapankah saya akan memberikan dana jubah, kain Baranasi, linan dan katun? Memenuhinya adalah keinginanku.

Kapankah saya akan memberikan dana obat-obatan, dadi susu, madu, minyak, dan jaggery? Memenuhinya adalah keinginanku.

Para bhikkhu yang mendengar suaranya, berkata kepada Guru: “Bhante, selama ini kami tidak pernah tahu Visakha dapat menyanyi. Tetapi hari ini, dengan di kelilingi oleh para anak, para cucu dan para buyutnya, ia berkeliling-keliling vihara sambil bernyanyi. Apakah empedunya tidak normal atau ia telah gila?” Guru menjawab: “Para bhikkhu, anakku tidak menyanyi. Namun tekadnya yang luhur sekarang terpenuhi, dan hatinya diliputi kegembiraan dengan pikiran: ‘Harapan yang saya harapkan, sekarang terpenuhi,’ dan ia menyatakan Ungkapan Syadhu selagi ia berjalan.” “Tetapi, Bhante, kapan ia mengharapkan keingian ini?” “Apakah anda sekalian mau mendengarnya, para bhikkhu?” “Ya, Bhante, kami mau mendengarnya.” Karena itu Guru menceritakan hal berikut ini.

Cerita yang lampau

Keinginan Mulia Visakha

Para bhikkhu, 100.000 kappa yang lampau, Samma Sambuddha Padumuttara muncul di dunia. Usia rata-rata pada masa itu adalah 100.000 tahun, para arahat pengikutnya sebanyak 100.000 orang, kotanya adalah Hamsavati, ayahnya bernama Sunanda, dan ibunya bernama Sujata Devi. Upasika yang menjadi donatur utamanya mendapat 8 berkah (boon) darinya, pasika ini masih ada hubungan kerabat melalui ibunya, ia menyediakan Empat Kebutuhan pokok (catu paccaya) Guru, upasika pun melayani Guru di waktu pagi dan sore.

49. Harumnya kayu cendana, bunga melati dan bunga tagara tidak

dapat melawan arah angin, tetapi harumnya nama para pembuat kebajikan dapat melawan tiupan angin, dan tersebar di segala penjuru.

50. Harumnya kebajikan dapat mengalahkan harumnya

kayu cendana, bunga tagara, teratai atau melati.

51. Tak seberapa harumnya bunga melati dan kayu cendana; jauh lebih

harum mereka yang memiliki sila (kebajikan), nama harum mereka

tersebar di antara para dewa di surga.

52. Mereka yang sempurna tingkah lakunya, selalu penuh kesadaran,

terbebas dari noda; jejak para orang suci ini tidak dapat diikuti oleh

Dewa Kematian (Mara).

53. Seperti bunga teratai yang tumbuh di atas tumpukan sampah yang

dibuang di tepi jalan raya, indah, harum serta menimbulkan perasaan

senang.

54. Demikian pula siswa Sang Buddha bersinar karena kebijaksa-

naannya, di antara para manusia yang hidup tertutup

oleh kegelapan.